Liputan6.com, Kyiv - Pada hari Jumat tanggal 24 Februari, menandai satu tahun sejak Rusia meluncurkan invasi ke Ukraina.
Dalam 365 hari sejak perang Rusia Ukraina dimulai, ribuan orang telah terbunuh, jutaan telah meninggalkan rumah mereka dan kota-kota di seluruh Ukraina telah menjadi puing-puing.
Advertisement
Baca Juga
Wanita, anak-anak, lansia, dan pelajar asing mulai mengungsi mencari perlindungan di negara tetangga Hongaria, Moldova, Polandia, Rumania, dan Slovakia.
Bagi yang tidak mengungsi, serangan rudal dan pemadaman listrik sudah menjadi hal yang biasa. Itu merupakan kenyataan baru yang harus diadaptasi oleh masyarakat yang masih tinggal di Ukraina, termasuk siswa-siswi yang masih bersekolah di sana.
Dilansir CNA, Senin (6/3/23) Di salah satu sekolah dasar berlokasi di ibu kota Ukraina, Kyiv, para siswa tidak hanya membawa tas buku mereka tetapi juga koper darurat yang disebut sebagai “go-bags”.
Beberapa siswa di sekolah Ukraina tersebut telah meninggalkan negaranya setelah invasi besar-besaran Rusia pada Februari tahun lalu.
Sekarang, sekitar dua pertiga murid di sekolah tersebut mengikuti pelajaran di kelas (onsite), sedangkan sisanya belajar dari rumah.
“Sekarang, mereka tidak hanya membawa tas sekolah tetapi juga koper darurat,” kata Iryna Mudrytska, wakil direktur pendidikan di Sekolah Nomor 327.
“Tanpa ribut, tanpa mendorong, dan mendengarkan guru dengan penuh perhatian, mereka menuju ke tempat penampungan,” tambahnya, merujuk pada saat sirine serangan udara dibunyikan.
Realitas Baru, Serangan Rudal dan Pemadaman Listrik
Fenomena ini terjadi karena jutaan orang telah meninggalkan rumah mereka selama setahun terakhir, memisahkan pemuda Ukraina dari sekolah dan jaringan pendukung mereka.
Bagi siswa yang tetap tinggal, mereka harus menghadapi serangan misil Rusia sebagai ancaman konstan di sekolah. Mereka juga harus beradaptasi dengan kenyataan baru tentang seringnya terjadi pemadaman listrik.
Saat alarm udara berbunyi, anak-anak berusia antara enam dan delapan tahun akan melanjutkan studi mereka di tempat penampungan bawah tanah. Bahkan pada suatu waktu, mereka sempat menghabiskan waktu lima jam di bawah tanah.
Staf telah berusaha membuat tempat penampungan tampak seperti ruang kelas biasa agar dapat membantu meredakan kecemasan. Mereka mengatakan bahwa mengajar dalam kondisi seperti ini merupakan sebuah pengalaman yang bisa dipelajari.
Pada bulan September tahun lalu, siswa sudah dapat kembali ke ruang kelas. Psikolog sekolah, Tamila Dzhafarova, mengatakan bahwa anak-anak sekarang lebih siap.
“Mereka sekarang berperilaku lebih tenang ketika mendengar sinyal alarm udara, mereka merasa lebih aman di dalam tembok sekolah, dan mereka merasa didukung oleh para guru dan oleh saya sebagai psikolog,” tambahnya.
Advertisement
Dampak Pada Siswa Sekolah
Menurut PBB, sekitar 1,5 juta anak di Ukraina berisiko mengalami gangguan stres pascatrauma, depresi, kecemasan, dan kondisi kesehatan mental lainnya.
Beberapa guru mengatakan bahwa eskalasi perang berdampak lebih besar pada siswa yang lebih tua, karena mereka lebih sadar akan situasi tersebut.
World Vision memperkirakan sekitar 25 persen anak-anak tidak memiliki akses ke sekolah.
Direktur respons negara World Vision Ukraina, Catherine Green mengatakan: “Begitu Anda memiliki anak-anak yang tidak bersekolah, efek lanjutannya akan signifikan dalam hal kesehatan mental dan kesejahteraan psikososial mereka, pembelajaran berkelanjutan mereka, kemampuan berkelanjutan mereka untuk berkontribusi pada pembangunan kembali negara ini begitu perdamaian tiba.”
Dengan jutaan pengungsi Ukraina, banyak anak dipaksa untuk melanjutkan studi mereka di komunitas baru dan seringkali dalam bahasa baru, kata pengamat.
Pendidik mengatakan siswa dapat beradaptasi dengan cepat dengan keadaan luar biasa ini, tetapi mereka berharap pelajaran dalam ketegangan ini segera berakhir.
Murid Mariia Chaikina berkata, “Saya rasa jauh lebih mudah untuk hidup dalam situasi perang bersama teman-teman Anda, karena mereka seseorang yang dapat mendukung dan memahami Anda. Karena saya pikir hanya orang Ukraina yang bisa mengerti saya sepenuhnya.”
Kisah Kehilangan Keluarga
Pertumpahan darah akibat perang Rusia Ukraina telah merenggut banyak korban jiwa. Tak sedikit pula yang patah hati kehilangan orang-orang terkasih serta bersusah payah untuk bertahan hidup.
Dilansir dari itv.com, Sabtu (25/2/2023) Sonia, gadis asal Kyiv berusia 13 tahun ini kehilangan keluarganya pada awal perang.
Dua hari setelah invasi Rusia dimulai, saat pasukan Moskow mulai mendekati Kyiv, keluarga Sonia mencoba melarikan diri dari ibu kota Ukraina dengan mobil. Tapi saat mereka pergi, pasukan Rusia melepaskan tembakan, dan membunuh semua keluarga Sonia. Ia pun terluka parah.
Begitu parahnya luka-lukanya sehingga dia di beritahu, kemungkinan dia tidak akan pernah bisa berjalan lagi.
Nenek Sonia, Svitlana, yang sekarang merawatnya, mengatakan kepada ITV News bahwa ini adalah "kesedihan yang luar biasa" yang harus mereka jalani.
"Dia merindukan kakak dan adiknya. Dia tidak menunjukkannya, tapi aku bisa melihatnya. Aku bisa melihat bagaimana reaksinya ketika mendengar nama Polina dan Samen di suatu tempat," kata neneknya kepada ITV News.
"Sesuatu sedang terjadi padanya pada saat itu," ucapnya kembali. Svitlana menjelaskan bahwa hidup ini tidak masuk akal, dan dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan jika Sonia juga tewas dalam serangan itu.
Dia menambahkan, "Ia adalah satu-satunya keluarga yang aku punya."
Hubungan Sonia dan keluarganya sangat dekat, mereka mencintai alam bebas. Orang tuanya bernama Anton dan Svetlana, keduanya adalah dokter hewan. Dia juga dekat dengan adik-adiknya, yang bernama Polina dan Samen.
Advertisement