Liputan6.com, Abidjan - Permasalahan air bersih terus menerus menghantui Afrika. Air yang sangat mudah didapatkan di beberapa negara, menjadi hal yang sangat langka di daerah tersebut.
Kota Lagos, salah satu kota padat di Nigeria, anak-anaknya berenang dan bermain di air kotor yang dikelilingi sampah.
Baca Juga
Di kota terbesar Pantai Gading, Abidjan, ribuan keluarga rela mengambil air dari sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Advertisement
Dilansir dari ABC News, Kamis (23/3/2023), Topan Freddy yang baru-baru ini terjadi, mengakibatkan kehancuran dan banjir di Mozambik dan Malawi.
Peristiwa tersebut menjadi penyebab terlantarnya lebih dari 500.000 orang, kekurangan air bersih dan terjangkit penyakit kolera, infeksi bakteri yang menyebabkan diare berat.
Semenjak itu, kasus penyakit kolera meningkat dengan dramatis.
Menurut PBB, satu dari empat orang, dengan sekitar 2 miliar orang di seluruh dunia, kekurangan air minum yang aman dikonsumsi.
Selain itu, masih menurut PBB, 1,4 juta orang meninggal setiap tahun karena penyakit yang berhubungan dengan air, sanitasi, dan kebersihan yang buruk.
Sulitnya menjangkau akses fasilitas air bersih dan sanitasi membuat 190 juta anak di 10 negara Afrika berada pada resiko tertinggi.
Berdasarkan analisis terbaru oleh UNICEF, hal ini menempatkan mereka pada situasi dan kondisi yang rentan terkena penyakit terkait kebersihan
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa peningkatan kondisi cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim juga ikut memperburuk situasi.
Kesulitan Mengakses Air Bersih
Bahkan di Abidjan, kota pelabuhan Pantai Gading dan pusat ekonomi yang berkembang pesat, banyak masyarakat yang tidak memiliki persediaan air bersih.
Masyarakat di sana harus mengumpulkan air dari sungai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Pada larut malam, jika beruntung, mereka bisa saja mendapatkan pasokan air dari keran di rumah. Saat itu terjadi, sebanyak mungkin wadah plastik dikeluarkan untuk menampung air yang keluar.
Pejabat lokal di Pantai Gading menyalahkan daya listrik yang tidak mencukupi untuk memompa air ke rumah-rumah warga.
Mengangkut dan menjual air dengan harga sekitar 15 sen per 20 liter (5 galon) dikatakan sebagai bisnis yang menguntungkan di sana.
Salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dunia adalah agar setiap orang memiliki air bersih dan sanitasi pada tahun 2030.
Namun, laporan yang diluncurkan menjelang konferensi besar PBB pertama tentang air sejak 45 tahun menunjukkan bahwa masih jauh perjalanan untuk mencapai tujuan tersebut.
Advertisement
Target Air Bersih dan Sanitasi pada Tahun 2030
Laporan PBB tersebut menunjukkan bahwa sekitar 26 persen populasi dunia tidak memiliki akses untuk air minum yang aman dikonsumsi dan 46 persen tidak memiliki akses ke sanitasi dasar.
Angka yang cukup mengkhawatirkan mengingat seberapa pentingnya air dalam kehidupan sehari-hari manusia.
Laporan Pembangunan Air Dunia 2023 PBB yang dikeluarkan minggu ini, memberikan gambaran nyata tentang kesenjangan besar yang perlu diisi untuk memenuhi tujuan PBB yaitu untuk memastikan semua orang memiliki akses ke air bersih dan sanitasi pada tahun 2030.
Richard Connor, pemimpin redaksi laporan tersebut, memperkirakan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut adalah antara 600 miliar dolar dan satu triliun dolar per tahun.
Menurut Connor, penting bagi investor, pemerintah, dan komunitas perubahan iklim untuk menjalin kemitraan.
“Guna melihat bahwa uang diinvestasikan untuk melestarikan lingkungan dan menyediakan air minum untuk dua miliar orang yang tidak memilikinya,” kata Connor.
Penuhi Kebutuhan Air Bersih, Pemerintah Diminta Gunakan Bahan Ramah Lingkungan
Tak hanya Afrika, di Indonesia pun permasalahan air bersih terkadang cukup meresahkan warga.
Kebutuhan air bersih di Indonesia dinilai belum memadai. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, masih ada 3,28 persen rumah tangga di Indonesia yang pernah kekurangan air minum minimal 24 jam pada 2022. Persentase tersebut meningkat 0,01 persen poin dari tahun sebelumnya yang sebesar 3,27 persen.
Bahkan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bidang Sumber Daya Air merilis data layanan air pipa sebesar 21,69 persen se-Indonesia. Di mana, sisanya merupakan layanan air nonpipa.
Data tersebut disampaikan kementerian dalam Water and Innovative Finance sebagai rangkaian Road to World Water Forum (WWF). Minimnya layanan air pipa itu pun, membuat sejumlah produsen pipa air berlomba untuk bisa membantu pemerintah memenuhi kebutuhan tersebut.
CEO PT Alpha Cikupa Makmur Alden Lukman mengatakan, untuk mendukung penyaluran sirkulasi konsumsi air pipa terutama air yang bersih dan layak konsumsi, pihaknya pun menghadirkan pipa HDPE.
Dimana, pipa tersebut diklaim bebas dari kandungan berbahaya yang bisa mengancam kesehatan tubuh atau bebas dari klorida.
Advertisement