Liputan6.com, Seoul - Para pemuda termasuk di Korea Selatan konon lebih suka menjadi penyendiri, tertutup dan berusaha keras untuk menghindari kontak pribadi. Banyak dari mereka yang hidup dalam isolasi diri untuk waktu yang lama.
Dalam rangkau membantu mengatasi masalah yang berkembang di seluruh Asia, dengan cara menawarkan 650.000 won (sekitar Rp7,3 juta) kepada pemuda penyendiri sebagai tunjangan bulanan dalam upaya untuk mendorong mereka meninggalkan rumah untuk bersosialisasi.
Baca Juga
Dukungan intervensi awal akan diberikan oleh Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga negara tersebut, dan diberikan kepada mereka yang berusia antara sembilan hingga 24 tahun yang menderita hikikomori, setelah langkah tersebut disahkan pada Selasa, 11 April 2023.
Advertisement
Hikikomori adalah istilah Jepang untuk menggambarkan kondisi "penarikan sosial yang ekstrem".
Tunjangan tersebut dapat digunakan oleh remaja yang menutup diri untuk mendanai "biaya hidup umum, perlengkapan sekolah, pengalaman budaya dan bahkan prosedur kosmetik, seperti koreksi bekas luka", demikian dilansir dari Channel News Asia, Sabtu (15/4/2023).
Sekitar 350.000 warga Korea Selatan berusia 19 hingga 39 tahun dianggap terisolasi dan kesepian, menurut The Korea Institute for Health and Social Affairs.
"Anak-anak muda yang terasing sering kali berasal dari latar belakang yang kurang beruntung dan 40 persen mulai hidup menyendiri saat masih remaja," lapor The Guardian.
Di atas tingkat pengangguran kaum muda yang tinggi sebesar 7,2 persen, Korea Selatan memiliki tingkat kesuburan terendah di dunia, yang semakin membahayakan produktivitas.
Dalam upaya untuk mengatasi masalah hikikomori, pemerintahan di bawah Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol pun bertujuan untuk mendukung pemuda penyendiri dalam memulihkan kehidupan sehari-hari mereka dan "berintegrasi kembali ke dalam masyarakat".
Hikikomori, Hal Umum di Asia
Pada awal April, survei pemerintah Jepang menemukan bahwa hampir 1,5 juta orang usia kerja di negara itu menderita hikikomori.
Alasan mundur dari masyarakat Jepang yang terkenal konformis dan berfokus pada pekerjaan berkisar dari pengangguran dan depresi, hingga intimidasi di sekolah dan di tempat kerja.
Sementara beberapa pertapa hanya pergi berbelanja bahan makanan atau untuk mengejar hobi, kasus ekstrem termasuk mereka yang jarang meninggalkan rumah sama sekali, catat survei tersebut.
Fenomena itu dapat dilihat sebagai yang paling lazim di Jepang, tetapi jumlah orang yang mengalami hikikomori terus bertambah di seluruh Asia Timur.
Kondisi tersebut termasuk di Singapura yang telah menyelidiki masalah tersebut, dengan studi terbarunya dengan James Cook University, menunjukkan bahwa individu dengan faktor risiko hikikomori yang lebih tinggi memiliki kecenderungan penarikan sosial yang lebih tinggi.
Hikikomori di Singapura, bagaimanapun, umumnya kurang ekstrem dibandingkan dengan Jepang atau Korea Selatan, karena faktor sosial dan budaya seperti orang tua memiliki kebutuhan untuk "menafkahi anak-anak mereka (bahkan ketika mereka sudah dewasa)", kata studi.
"Selain itu, individu di Singapura yang berusia di bawah 35 tahun tidak diperbolehkan memiliki perumahan publik, sehingga sebagian besar orang dewasa muda tinggal bersama orang tua mereka secara default. Orang-orang ini bahkan mungkin berbagi kamar dengan saudara kandung, dan karenanya tidak dapat menghindari interaksi keluarga."
Studi juga menemukan bahwa orang-orang dengan faktor risiko hikikomori tinggi di Singapura "mungkin menekan ekspresi emosional mereka, agar terlihat fungsional di masyarakat".
"Untuk masyarakat kolektivistik seperti Singapura, ini mungkin cara bagi mereka untuk menyesuaikan diri dan tidak 'menonjol' dari keramaian," ungkap studi.
Advertisement
Jepang Terancam Musnah Akibat Angka Kelahiran Anjlok
Bicara soal hikikomori, Jepang dinyatakan akan musnah apabila tidak dapat memperlambat penurunan angka kelahiran. Hal tersebut ditegaskan oleh penasihat Perdana Menteri (PM) Jepang Fumio Kishida.
"Jika kita terus seperti ini, negara ini akan hilang," kata Masako Mori dalam wawancara di Tokyo setelah Jepang mengumumkan pada 28 Februari jumlah bayi yang lahir tahun lalu merosot ke rekor terendah, dikutip dari Bloomberg, Kamis (9/3/2023).
"Orang-orang yang harus menjalani proses penghilangan inilah yang akan menghadapi kerugian besar. Itu penyakit mengerikan yang akan menimpa anak-anak itu."
Tahun lalu, jumlah kematian di Jepang dua kali lebih banyak daripada kelahiran. Angka kelahiran kurang dari 800 ribu, sementara angka kematian mencapai 1,58 juta.
PM Kishida berjanji untuk menggandakan jaminan bagi anak-anak dan keluarga sebagai upaya mengendalikan penurunan kelahiran, yang bahkan lebih cepat dari perkiraan.
Populasi Jepang telah turun menjadi 124,6 juta dari puncaknya lebih dari 128 juta pada 2008 dan laju penurunan itu semakin tajam. Sementara itu, proporsi orang berusia 65 tahun ke atas melonjak lebih dari 29 persen tahun lalu.
Kenapa Orang Jepang Tak Mau Menikah? Duta Besar: Mereka Lebih Suka Tetap Single dan Menikmati Hidupnya
Isu kelahiran anak di Jepang pun kerap menjadi sorotan media internasional. Pasalnya, generasi muda di Jepang tidak ingin menikah dan punya anak.
Muncul pula kabar bahwa sekolah-sekolah di Jepang tutup karena kekurangan murid.
Duta Besar (Dubes) Jepang untuk Indonesia Kanasugi Kenji mencoba menjelaskan apa yang terjadi di negaranya. Ia membenarkan bahwa anak muda zaman sekarang tak mau menikah, meski ia menyebut istilah "penutupan" sekolah tidak tepat.
Dubes Kenji menyebut angka kelahiran Jepang adalah 1,4 per perempuan. Angka itu lebih rendah dari Amerika Serikat (1,6), Indonesia (2,2), atau Jerman (1,5), berdasarkan data Bank Dunia per 2020.
Menurut pandangan Dubes Kenji, para pemuda Jepang nyaman hidup sendiri sehingga merasa repot jika menikah dan punya anak.
"Saya tidak sepenuhnya tahu, tetapi anak-anak muda membentuk kehidupan mereka sebagai orang single. Mereka menikmati hidup mereka. Mereka merasa repot kalau punya anak, karena dengan menikah, punya anak, mereka harus mengubah keseluruhan hidup mereka," ujar Dubes Kenji saat acara iftar di rumah dinasnya, Jakarta, Jumat (14/4/2023).
"Jadi mereka lebih suka tetap single dan menikmati hidupnya. Mungkin. Itu tebakan saya. Saya terlalu tua untuk mengetahui perasaan anak-anak muda," ia menambahkan.
Dubes Kenji menyebut pemerintah Jepang terus berusaha agar para pemuda negaranya mau untuk menikah. Pada 2020, Kyodo News melaporkan bahwa pemerintah Jepang memang telah menawarkan skema bantuan finansial bagi orang-orang yang baru menikah.
Advertisement