Liputan6.com, Brussels - Laporan bersama antara Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa menyebutkan bahwa musim panas terakhir merupakan yang terpanas di Eropa, mengakibatkan lebih dari 16.000 kematian.
"Sayangnya, ini tidak bisa dianggap sebagai kejadian satu kali atau keanehan iklim," ujar Direktur Layanan Perubahan Iklim Copernicus Carlo Buontempo, seperti dilansir CNN, Rabu (21/6/2023).
Peristiwa semacam ini, sebut Buontempo, adalah bagian dari pola yang akan membuat suhu panas ekstrem lebih sering dan lebih intens di seluruh kawasan.
Advertisement
Menurut laporan yang sama, Eropa adalah benua dengan pemanasan tercepat di dunia dan telah memanas dua kali lebih cepat dari rata-rata global selama tiga dekade terakhir.
Tidak hanya panas, namun benua itu dilaporkan juga sangat kering. Berdampak besar bagi pasokan air dan pertanian.
Banyak bagian Benua Eropa mengalami tingkat curah hujan sangat rendah tahun lalu. Prancis mengalami periode terkeringnya dari Januari hingga September, sementara di Spanyol, cadangan air anjlok hingga lebih dari 40 persen dari kapasitasnya.
Kebakaran Hutan Hebat
Kekeringan yang terus menerus dan suhu panas ekstrem memicu kebakaran hutan hebat. Laporan WMO dan Copernicus mengungkapkan bahwa Eropa mengalami kebakaran terbesar kedua yang tercatat pada tahun 2022.
Di Pegunungan Alpen, gletser mencair lebih cepat karena hujan salju yang rendah, suhu panas, dan debu Sahara, yang membuat gletser jadi lebih gelap, artinya gletser menyerap lebih banyak panas dan lebih cepat meleleh.
Lautan pun luar biasa panas, dengan suhu rata-rata permukaan laut di Atlantik Utara tercatat paling panas. Laporan yang sama menyebutkan bahwa tingkat pemanasan di beberapa bagian Laut Mediterania, Laut Baltik dan Hitam, dan Arktik selatan lebih dari tiga kali lipat rata-rata global.
Dengan datangnya El Nino, fenomena iklim alami, banyak ilmuwan khawatir bahwa tahun 2023 dapat mengalami iklim yang lebih ekstrem.
Di luar berbagai kekhawatiran, ada harapan. Masih menurut laporan yang sama, energi terbarukan menghasilkan lebih banyak listrik dibanding gas fosil untuk pertama kalinya pada tahun 2022. Angin dan matahari menyumbang 22,3 persen dari listrik Uni Eropa, sementara gas fosil menyumbang 20 persen, dan tenaga batu bara 16 persen.
"Meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan dan rendah karbon sangat penting untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil," kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas.
Advertisement