Pemerintah Jepang Takut Masyarakat Lenyap, TKA Lantas Dibutuhkan

86 persen munisipalitas di Jepang berkata membutuhkan TKA.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 18 Sep 2023, 21:33 WIB
Diterbitkan 18 Sep 2023, 21:33 WIB
Bunga Sakura di Jepang Bermekaran Lebih Awal dari Musimnya
Jepang mengumumkan dimulainya musim bunga sakura di Toky. Photo by Richard A. Brooks / AFP)

Liputan6.com, Tokyo - Pemerintah daerah Jepang mengaku sangat membutuhkan tenaga kerja asing (TKA). Salah satunya karena mereka khawatir masyarakatnya lenyap.

Hal ini masih terkait dengan populasi Jepang yang sedang menurun, sehingga para TKA dibutuhkan untuk mengisi posisi-posisi kerja. Survey membuktikan bahwa mayoritas setuju agar TKA ditambah.  

Berdasarkan laporan Kyodo News, Senin (18/9/2023), sebanyak 86 persen munisipalitas di Jepang merasa butuh menambah kehadiran TKA. Para TKA itu dibutuhkan di sektor seperti pertanian dan sektor-sektor kunci di daerah.

Survei itu dilakukan dengan mengirim kuesioner ke gubernur 47 prefektur dan pemimpin 1.741 kota, warga, dan desa. Responden mencapai 1.682 orang (94 persen).

84 persen kepala pemerintahan di Jepang menyebut mereka sangat khawatir atau agak takut bahwa komunitas masyarakat mereka berisiko menghilang.

Institut Nasional untuk Penelitian Populasi dan Keamanan Sosial di Jepang memproyeksikan bahwa total masyarakat Jepang akan turun hingga 30 persen pada 2070 mendatang. Sebelumnya, institut tersebut juga memperkirakan bahwa 896 kota dan desa di Jepang terancam punah pada 2040.

Sementara, populasi warga asing akan naik dari 2 persen pada tahun 2020 menjadi 10 persen pada 2070.

Survey itu juga menyebut 56 persen berkata "cukup perlu" untuk mempromosikan kedatangan TKA di Jepang. 30 persen bekata "perlu". Hanya 8 persen yang berkata "tidak perlu" atau "tidak cukup perlu".

Dua prefektur yang 100 persen mendukung kehadiran TKA adalah Shimane dan Kochi. Pekerjaan yang dibutuhkan di bidang kesehatan, keperawatan, pertanian, dan manufaktur.

63 persen pemerintah lokal berkata telah mengambil langkah agar warga asing bisa berintegrasi ke masyarakat, seperti menyediakan pendidikan Bahasa Jepang dan menerjemahkan informasi pemerintah ke berbagai bahasa.

20 persen bahkan menyediakan insentif finansial kepada perusahaan yang mempekerjakan TKA dan memiliki program job-matching untuk warga asing ke bisnis-bisnis. 

Populasi Jepang Resmi Turun di Semua Wilayah

FOTO: Cegah COVID-19 Omicron, Jepang Larang Masuk Semua Warga Asing
Orang-orang yang memakai masker berjalan di sekitar persimpangan Shibuya Tokyo, Jepang, Senin (29/11/2021). Penutupan pintu untuk warga negara asing ke Jepang hanya bersifat sementara hingga diperoleh informasi lanjutan tentang varian Omicron. (AP Photo/Kiichiro Sato)

Sebelumnya dilaporkan, populasi Jepang resmi menurun di seluruh wilayah atau 47 prefektur. Penurunan itu terjadi sejak pertama kali survei penduduk dimulai sejak 1968.

Berdasarkan laporan Kyodo News, Rabu (26/7), populasi Jepang tahun lalu 122,4 juta turun sejumlah 801 ribu orang. Survei itu dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang. 

Pulau Okinawa yang biasanya tidak terdampak isu kelahiran juga melaporkan penurunan populasi sejak 1973.

Per 1 Januari 2023, total seluruh populasi Jepang adalah 125,4 juta, termasuk warga asing. Jumlah itu menurun 511 ribu dari setahun sebelumnya.

Tren itu menunjukkan perlunya Jepang mengembangkan kebijakan untuk mengentaskan isu ini, serta menambah peluang pekerjaan pemuda dan wanita di area regional. 

Meski demikian, populasi orang asing di Jepang naik sejak pertama kali dalam tiga tahun semenjak pelonggaran aturan COVID-19.

Kenaikan orang asing di Jepang sekitar 289 ribu menjadi 2,9 juta orang.

Populasi di Prefektur Tokyo "meningkat" karena peningkatan kehadiran warga asing. Sementara, Prefektur Akita mencatat penurunan populasi tertinggi, yakni 1,65 persen.

Institusi Nasional Penelitian Populasi dan Keamanan Nasional di Jepang mengestimasi bahwa warga asing di negara tersebut akan mencapai 10 persen populasi pada 2070 mendatang.

Anak usia 14 tahun ke bawah di Jepang sejumlah 11,82 persen dari populasi Jepang. Angka itu turun 0,18 persen poin dari tahun sebelumnya.

Sebaliknya, populasi usia 65 tahun ke atas naik 0,15 persen poin menjadi 29,15 persen.

Populasi usia kerja di Jepang masih menjadi yang dominan. Mereka yang berusia 15 dan 64 tahun naik 0,03 persen poin menjadi 59,03 persen.

Kenapa Orang Jepang Tidak Mau Menikah?

Ditengah Pandemi Covid-19, Warga Jepang Padati Taman Nikmati Musim Semi
Seorang wanita mengenakan masker berjalan selama pandemi Covid-19 di sebuah taman di Yokohama, dekat Tokyo, (29/4/2020). PM Jepang Shinzo Abe memperluas keadaan darurat ke seluruh Jepang dari hanya Tokyo dan perkotaan lainnya. daerah sebagai virus terus menyebar. (AP /Koji Sasahara)

Isu kelahiran anak di Jepang kerap menjadi sorotan media internasional. Pasalnya, generasi muda di Jepang ogah nikah dan punya anak. 

Muncul pula kabar bahwa sekolah-sekolah di Jepang tutup karena kekurangan murid.  

Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kanasugi Kenji mencoba menjelaskan apa yang terjadi di negaranya. Ia membenarkan bahwa anak muda zaman now ogah menikah, meski ia menyebut istilah "penutupan" sekolah tidak tepat. 

Dubes Kenji menyebut angka kelahiran Jepang adalah 1,4 per perempuan. Angka itu lebih rendah dari Amerika Serikat (1,6), Indonesia (2,2), atau Jerman (1,5) -- berdasarkan data Bank Dunia per 2020.

Menurut pandangan Dubes Kenji, para pemuda Jepang nyaman hidup sendiri sehingga merasa repot jika menikah dan punya anak.

"Saya tidak sepenuhnya tahu, tetapi anak-anak muda membentuk kehidupan mereka sebagai orang single. Mereka menikmati hidup mereka. Mereka merasa repot kalau punya anak, karena dengan menikah, punya anak, mereka harus mengubah keseluruhan hidup mereka," ujar Dubes Jepang Kanasugi Kenji saat acara iftar di rumah dinasnya, Jakarta, Jumat (14/4).

"Jadi mereka lebih suka tetap single dan menikmati hidupnya. Mungkin. Itu tebakan saya. Saya terlalu tua untuk mengetahui perasaan anak-anak muda," ia menambahkan.

Dubes Kenji menyebut pemerintah Jepang terus berusaha agar para pemuda negaranya mau untuk menikah. Pada 2020, Kyodo News melaporkan bahwa pemerintah Jepang memang telah menawarkan skema bantuan finansial bagi orang-orang yang baru menikah.

Terkait isu sekolah, Dubes Jepang menilai istilah "penutupan" kurang tepat, sebab sekolahnya sebetulnya digabung, meski jumlah sekolah Jepang memang berkurang.

"Banyak sekolah-sekolah Jepang bukannya tutup, tetapi bergabung. Dan dua sekolah bergabung jadi jadi. Jadi angka sekolah berkurang. Kami mencoba melakukan hal terbaik untuk menambah tingkat kelahiran, mendorong anak-anak muda untuk punya lebih banyak anak," ujarnya.

Infografis Ciri-ciri Ibu rumah tangga Punya Masalah Kesehatan Mental
Infografis Ciri-ciri Ibu rumah tangga Punya Masalah Kesehatan Mental.
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya