Prancis Dihantui Teror: Museum Louvre dan Istana Versailles Dapat Ancaman Bom hingga 7.000 Tentara Dikerahkan untuk Keamanan Ekstra

Museum Louvre dan Istana Versailles dapat ancaman bom pada Sabtu (14/10/2023). Tidak ada yang terluka dalam peristiwa itu.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 15 Okt 2023, 07:00 WIB
Diterbitkan 15 Okt 2023, 07:00 WIB
Museum Louvre
Pengunjung mengantre di piramida Louvre yang dirancang arsitek China Ieoh Ming Pei, pintu masuk ke Museum Louvre pada hari pertama pembukaan di Paris (6/7/2020). Setelah berbulan-bulan ditutup akibat lockdown Covid-19, Museum Louvre kembali dibuka pada 6 Juli 2020. (AFP/Francois Guillot)

Liputan6.com, Paris - Dua tempat wisata terbesar dan paling terkenal di Prancis disterilkan dan ditutup pada Sabtu (14/10/2023), sebagai respons terhadap ancaman serangan.

"Sekitar 15.000 pengunjung diminta meninggalkan Louvre di pusat Kota Paris setelah pihak museum menerima pesan tertulis yang menyatakan bahwa ada risiko terhadap museum dan pengunjungnya," kata juru bicara museum kepada kantor berita Prancis AFP, seperti dilansir Minggu (15/10).

Dia awalnya tidak menjelaskan secara rinci ancaman tersebut, namun lembaga penyiaran Prancis, BFMTV, mengutip sumber polisi mengatakan bahwa museum tersebut menerima ancaman bom.

Alarm dilaporkan berbunyi di seluruh museum dan di pusat perbelanjaan bawah tanah di bawah piramidanya, sementara pada saat bersamaan pengunjung bergegas ke pintu keluar.

Louvre, yang merupakan rumah bagi mahakarya seperti Mona Lisa, didatangi antara 30.000 dan 40.000 pengunjung setiap harinya.

Kemudian pada Sabtu sore, Istana Versailles di pinggiran Paris juga dievakuasi setelah petugas keamanan menerima ancaman bom tanpa nama.

Hingga 7.000 Tentara Dikerahkan untuk Tingkatkan Keamanan

Ilustrasi serangan pisau (pixabay)
Ilustrasi serangan pisau (pixabay)

Ancaman bom yang melanda Louvre dan Istana Versailles terjadi saat Prancis dalam kewaspadaan keamanan tinggi menyusul serangan pisau di Sekolah Menengah Lycee Gambetta di Kota Arras yang menewaskan satu orang dan melukai tiga lainnya pada Jumat (13/10). Pelaku serangan dilaporkan adalah seorang ekstremis yang merupakan mantan siswa di sekolah tersebut.

Pada Sabtu, kantor Kepresidenan Prancis mengumumkan akan mengerahkan hingga 7.000 tentara untuk meningkatkan keamanan di seluruh negeri. Laporan Reuters menyebutkan, tentara akan dikerahkan mulai Senin (16/10) malam hingga pemberitahuan lebih lanjut sebagai bagian dari operasi keamanan yang sedang berlangsung di pusat kota besar dan lokasi wisata.

"Postur ancaman darurat serangan memungkinkan pemerintah sementara waktu memobilisasi militer untuk melindungi tempat-tempat umum dan tindakan lainnya," sebut kantor Kepresidenan Prancis.

Otoritas kontraterorisme sedang menyelidiki penikaman tersebut. Tersangka, yang baru-baru ini berada di bawah pengawasan badan intelijen terkait radikalisasi, dan beberapa orang lainnya telah ditahan.

Seperti dilansir AP, dokumen pengadilan menunjukkan bahwa dia berasal dari wilayah Ingushetia di Pegunungan Kaukasus, Rusia, yang bertetangga dengan Chechnya. Pihak berwenang awalnya mengidentifikasi pria usia 20 tahun itu sebagai orang Chechnya.

Motif sebenarnya penyerang masih belum jelas dan dia dilaporkan menolak berbicara dengan penyelidik.

Macron Desak Persatuan Prancis

Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Presiden Prancis Emmanuel Macron. (Sergei SUPINSKY/AFP)

Menurut Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin, intelijen Prancis menunjukkan adanya hubungan antara perang di Timur Tengah dan keputusan tersangka untuk menyerang. Dia mengatakan pihak berwenang telah menahan 12 orang di dekat sekolah atau tempat ibadah sejak perang Hamas Vs Israel di mulai pada Sabtu 7 Oktober, beberapa di antaranya bersenjata dan bersiap mengambil tindakan.

Prancis sendiri telah meningkatkan keamanan di ratusan situs Yahudi di seluruh negeri pada pekan ini.

Bagi banyak orang di Prancis, serangan tersebut serupa dengan pembunuhan guru lainnya, Samuel Paty, sekitar tiga tahun lalu di dekat sekolahnya di wilayah Paris. Dia dipenggal oleh seorang Chechnya radikal yang kemudian tewas dibunuh polisi.

Ketika mengumumkan bahwa sekolah akan dibuka kembali pada hari Sabtu, Presiden Emmanuel Macron mendesak rakyat Prancis untuk tetap bersatu.

"Pilihan telah dibuat untuk tidak menyerah pada teror," kata dia. "Kita tidak boleh membiarkan apapun memecah belah kita dan kita harus ingat bahwa sekolah dan transmisi pengetahuan adalah inti dari perjuangan melawan ketidaktahuan."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya