Senegal Memanas Pasca Penundaan Pilpres

Senegal telah lama dipandang sebagai salah satu demokrasi paling stabil di Afrika Barat, tercatat sebagai satu-satunya negara di daratan Afrika Barat yang tidak pernah mengalami kudeta militer. Mereka telah melakukan tiga kali penyerahan kekuasaan secara damai dan tidak pernah menunda pilpres.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 07 Feb 2024, 10:21 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2024, 10:20 WIB
Pengunjuk Rasa dan Polisi Bentrok usai Pengumuman Penundaan Pemilu di Senegal
Polisi Senegal berjalan di jalan selama demonstrasi yang diadakan oleh partai-partai oposisi di Dakar pada tanggal 4 Februari 2024. (JOHN WESSELS/AFP)

Liputan6.com, Dakar - Reputasi Senegal sebagai benteng demokrasi di kawasan yang tidak stabil terancam setelah pengunjuk rasa bentrok dengan polisi antihuru-hara di luar gedung parlemen pada Senin (5/2/2024).

Di dalam, anggota parlemen mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) yang kontroversial untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Macky Sall dan menunda pemilu setelah dia membatalkan pilpres yang direncanakan hanya tinggal tiga pekan lagi.

Pihak oposisi mengatakan beberapa anggota mereka dikeluarkan secara paksa dari gedung parlemen oleh polisi yang mengenakan perlengkapan antihuru-hara untuk menghentikan mereka memberikan suara.

Khalifa Sall, seorang penentang utama dan mantan wali kota Dakar, yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan presiden, menyebut penundaan tersebut sebagai "kudeta konstitusional". Dia mendesak masyarakat memprotesnya. Koalisi politiknya pun berjanji mengajukan tuntutan ke pengadilan.

Thierno Alassane Sall, kandidat lain yang juga tidak memiliki hubungan keluarga dengan Presiden Sall, menyebut langkah di parlemen sebagai pengkhianatan tingkat tinggi dan mendesak para pendukungnya berkumpul di Majelis Nasional untuk memprotes serta mengingatkan anggota parlemen agar berdiri di sisi kanan sejarah.

RUU itu memerlukan dukungan tiga per lima (yaitu 99) dari 165 deputi agar dapat disahkan. Koalisi Benno Bokk Yakaar yang berkuasa, yang merupakan bagian dari Partai Aliansi untuk Republik pimpinan Presiden Sall, memiliki sedikit mayoritas di parlemen.

Pada akhirnya 105 anggota parlemen menyetujui RUU tersebut. Pada awalnya diusulkan penundaan enam bulan, namun amandemen pada menit-menit terakhir memperpanjangnya menjadi 10 bulan atau hingga 15 Desember. Demikian seperti dilansir BBC, Rabu (7/2).

Presiden Sall menegaskan kembali bahwa dia tidak berencana mencalonkan diri lagi. Namun, para pengkritiknya menuduhnya berusaha mempertahankan kekuasaan atau secara tidak adil memengaruhi siapa pun yang menggantikannya.

Tidak lama setelah Presiden Sall mengumumkan penundaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, para pengunjuk rasa berkumpul di Dakar, menyerukan pembatalan. Setidaknya 150 orang ditangkap dalam dua hari terakhir.

Blok regional Afrika Barat, ECOWAS, pada Selasa (6/2) meminta kelas politik Senegal mengambil langkah-langkah segera untuk memulihkan kalender pemilu sesuai dengan konstitusi.

Mantan Perdana Menteri Aminata Toure turut mengutuk pengesahan RUU.

Senegal telah lama dipandang sebagai salah satu negara demokrasi paling stabil di Afrika Barat, tercatat sebagai satu-satunya negara di daratan Afrika Barat yang tidak pernah mengalami kudeta militer. Mereka telah melakukan tiga kali penyerahan kekuasaan secara damai dan tidak pernah menunda pilpres.

Krisis Konstitusional

Pengunjuk Rasa dan Polisi Bentrok usai Pengumuman Penundaan Pemilu di Senegal
Sebelumnya, Presiden Macky Sall mengumumkan penundaan pemilihan presiden. (Seyllou/AFP

Pada tahun 2017, pasukan Senegal memimpin misi Afrika Barat yang dikirim ke negara tetangga, Gambia, untuk mengusir penguasa lama Yahya Jammeh setelah dia menolak menerima kekalahan dalam pemilu. Di kawasan yang dilanda kudeta, Presiden Sall disebut telah menjadi aktor kunci dalam dorongan ECOWAS untuk memaksa para pemimpin militer mengadakan pemilu dan menyerahkan kekuasaan kepada warga sipil.

Namun, kredibilitas demokrasi Senegal kini berada di ujung tanduk dan krisis konstitusional pun mulai terjadi. Senegal, kata para analis, menghadapi ujian kritis terhadap integritas pemilu dan independensi peradilan.

Ketegangan telah meningkat selama lebih dari dua tahun setelah apa yang dikatakan pihak oposisi sebagai upaya yang disengaja untuk mengecualikan mereka dari pemilu dengan mendakwa kandidat mereka atas kejahatan yang tidak mereka lakukan. Salah satu partai oposisi besar bahkan dilarang.

Pihak berwenang membantah menggunakan sistem hukum untuk keuntungan politik dan Presiden Sall mengklaim dia berusaha menenangkan keadaan dengan menunda pemungutan suara, meski pun sejauh ini hal itu tidak berhasil.

"Keputusan tersebut telah melemparkan Senegal ke dalam krisis konstitusional yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata Mucahid Durmaz, analis senior di perusahaan intelijen risiko Verisk Maplecroft, kepada BBC.

"Konstitusi mengharuskan pemilu diselenggarakan setidaknya 30 hari sebelum berakhirnya mandat presiden yang sedang menjabat. Pemerintahan Sall berakhir pada 2 April dan kalender pemilu harus dikeluarkan 80 hari sebelum pemungutan suara berlangsung. Bahkan jika dia menunjuk presiden transisi setelah 2 April, legalitasnya akan diperdebatkan."

Pihak berwenang dilaporkan membatasi akses terhadap layanan internet seluler pada Senin untuk mencegah apa yang mereka sebut sebagai pesan kebencian dan subversif menyebar secara online dan mengancam ketertiban umum atau dengan kata lain mempersulit pengunjuk rasa untuk berorganisasi.​

Beberapa warga menuturkan kepada BBC mereka telah menggunakan wifi dan Virtual Private Networks (VPN) untuk menerobos pembatasan, namun tidak semua orang mampu melakukan hal ini.

Pihak oposisi mengecam penutupan saluran televisi swasta, Walf TV, karena alasan menghasut kekerasan pasca meliput demonstrasi.

Dua politikus oposisi, termasuk mantan PM Toure yang pernah menjadi sekutu dekat Presiden Sall, namun kini menjadi salah satu pengkritik paling kerasnya, dilaporkan sempat ditahan.

Situasi Senegal Dikhawatirkan Membahayakan Seluruh Kawasan

Pengunjuk Rasa dan Polisi Bentrok usai Pengumuman Penundaan Pemilu di Senegal
Pengunjuk rasa dan polisi bentrok di ibu kota Senegal, Dakar. (Seyllou/AFP)

Para kritikus khawatir bahwa tindakan keras dapat menjerumuskan Senegal dalam kekacauan politik lebih lanjut, yang pada gilirannya dapat membahayakan seluruh wilayah Afrika Barat.

Kepuasan terhadap demokrasi di Senegal telah menurun tajam di bawah pemerintahan Sall. Pada tahun 2013, Afrobarometer, sebuah lembaga jajak pendapat, menemukan bahwa setelah Sall menjabat, lebih dari dua per tiga masyarakat Senegal merasa cukup atau sangat puas dengan demokrasi. Pada tahun 2022, kurang dari setengahnya.

Namun, Durmaz mengatakan dia tidak memperkirakan kemungkinan terjadinya kudeta militer karena Senegal memiliki beragam partai politik, masyarakat sipil yang kuat, dan pemimpin agama berpengaruh yang turun tangan untuk menengahi perselisihan politik antar politikus.

Dua puluh kandidat telah masuk dalam daftar final untuk ikut serta dalam pemilu, namun beberapa lainnya dikecualikan oleh Dewan Konstitusi, badan peradilan yang menentukan apakah kandidat telah memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk mencalonkan diri.

Yang paling menonjol di antara mereka adalah pemimpin oposisi Ousmane Sonko yang dilarang karena tuduhan pencemaran nama baik dan Karim Wade, putra mantan presiden, yang dituduh memiliki kewarganegaraan Prancis. Keduanya mengatakan kasus yang menimpa mereka bermotif politik.

"Meskipun ada penundaan, kecil kemungkinan Sonko dapat berpartisipasi dalam pemilu karena partainya telah menggantikannya dengan Bassirou Faye yang juga dipenjara, namun tetap memenuhi syarat untuk mencalonkan diri," ungkap Durmaz.

Sonko telah menunjukkan bahwa dia mampu memobilisasi pendukungnya untuk turun ke jalan dan meskipun dia tetap dilarang, ketegangan kemungkinan akan tetap tinggi. Partai Pastef yang dipimpinnya yang dilarang telah berjanji untuk menolak penundaan tersebut dan menyebutnya sebagai ancaman serius terhadap demokrasi dan penghinaan terhadap keinginan rakyat.

Seruan Pilpres Sesegera Mungkin

Pengunjuk Rasa dan Polisi Bentrok usai Pengumuman Penundaan Pemilu di Senegal
Seorang pendukung oposisi bereaksi di depan barikade yang terbakar selama demonstrasi yang diserukan oleh partai-partai oposisi di Dakar pada 4 Februari 2024. (Seyllou/AFP)

Presiden Sall membenarkan penundaan pemilu dengan mengatakan diperlukan waktu untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara Dewan Konstitusi dan beberapa anggota parlemen. Namun, para pengkritik Sall berpendapat bahwa sang presiden mungkin khawatir penggantinya, Perdana Menteri Amadou Ba, kalah dalam pilpres.

ECOWAS dan Uni Afrika telah menyerukan dialog. Prancis, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa semuanya menyerukan pemilu sesegera mungkin.

Namun, Durmaz mengatakan citra internasional Presiden Sall akan meminimalkan tekanan eksternal terhadap dirinya.

"Saya tidak mengharapkan adanya dorongan tegas dari ECOWAS untuk membatalkan penundaan pemilu di Senegal," katanya, sambil mencatat bahwa kredibilitas organisasi regional seperti ECOWAS dan Uni Afrika telah ternoda secara signifikan karena ketidakmampuan mereka menghadapi defisit demokrasi di negara-negara yang dikelola sipil.

Semua perhatian kini dinilai akan tertuju pada blok-blok regional untuk melihat bagaimana mereka mengatasi masalah demokrasi lainnya di Afrika Barat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya