Kekerasan Geng Kriminal Bersenjata di Haiti Memburuk, AS Evakuasi Staf Non Esensial

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken telah berbicara dengan presiden Kenya tentang krisis Haiti dan keduanya menggarisbawahi komitmen mereka terhadap misi keamanan multinasional untuk memulihkan ketertiban.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 11 Mar 2024, 07:28 WIB
Diterbitkan 11 Mar 2024, 07:28 WIB
Protes Menuntut PM Haiti Ariel Henry Mundur
Seorang pria menambahkan puing-puing untuk dibakar di barikade ban yang terbakar yang dipasang oleh pengunjuk rasa selama demonstrasi menuntut Perdana Menteri Haiti Ariel Henry mundur dan menyerukan kualitas hidup yang lebih baik, di Port-au-Prince, Haiti, Senin (29/8/2022). (AP Photo/Odelyn Joseph)

Liputan6.com, Port-au-Prince - Amerika Serikat (AS) mengatakan pihaknya telah menerbangkan staf kedutaan non-esensial dari Haiti saat negara itu semakin terjerumus ke dalam kekerasan geng kriminal bersenjata. AS juga meningkatkan keamanan di misi mereka di ibu kota, Port-au-Prince.

Langkah tersebut diambil menyusul serangan yang dilakukan geng-geng kriminal bersenjata ke bandara, kantor polisi, dan penjara. Mereka mendorong pemecatan Perdana Menteri (PM) Haiti Ariel Henry.

Status darurat selama tiga hari pun telah diperpanjang satu bulan. Demikian seperti dilansir BBC, Senin (11/3/2024).

"Meningkatnya kekerasan geng di lingkungan dekat kompleks Kedutaan AS dan dekat bandara menyebabkan keputusan Kementerian Luar Negeri AS mengatur pemberangkatan personel tambahan kedutaan," tulis Kedutaan AS di media sosial.

Meski demikian, Kedubes AS akan tetap beroperasi.

Operasi evakuasi staf Kedubes AS pada Minggu (10/3) menjelang fajar diduga dilakukan dengan helikopter, lapor kantor berita AFP, mengutip warga sekitar yang mengaku mendengar suara baling-baling pesawat.

Kementerian Luar Negeri Jerman mengungkapkan kepada AFP bahwa pada hari yang sama, duta besar Jerman untuk Haiti bersama dengan perwakilan Uni Eropa lainnya juga dievakuasi ke Republik Dominika.

PM Henry Masih Bungkam

Ariel Henry
Perdana Menteri Haiti Ariel Henry. (Dok. AP)

Pengelola pelabuhan utama Haiti telah menyatakan pihaknya menghentikan operasi pada Kamis (7/3) karena sabotase dan vandalisme.

Geng-geng di kota yang dilanda kekerasan tersebut meningkatkan serangan mereka ketika PM Henry melawat untuk menghadiri KTT regional pekan lalu dan ketika dia berusaha kembali ke Port-au-Prince pada Selasa (5/3), pesawat yang membawanya malah mendarat di Puerto Riko.

Dia tidak bisa mendarat di ibu kota Haiti karena bandara internasionalnya ditutup ketika militer menggagalkan upaya orang-orang bersenjata untuk merebutnya.

Otoritas penerbangan sipil di Republik Dominika dilaporkan menolak pesawat yang mengangkut PM Henry, dengan mengatakan mereka tidak diberikan rencana penerbangan yang diperlukan.

PM Henry belum memberikan pernyataan publik apa pun sejak dia mengunjungi Kenya, di mana dia bertemu dengan Presiden William Ruto untuk mengamankan kesepakatan pengiriman pasukan multinasional yang dipimpin Kenya guna membantu memulihkan ketertiban di Haiti.

Kedua pemimpin menandatangani perjanjian timbal balik yang membuka jalan bagi pengiriman 2.000 petugas polisi Kenya ke Haiti, namun seorang politikus oposisi Kenya mengatakan dia akan menentang perjanjian tersebut di pengadilan.

Ancaman Perang Saudara

Protes Menuntut PM Haiti Ariel Henry Mundur
Para pengunjuk rasa dibubarkan oleh gas air mata yang dilemparkan oleh polisi selama demonstrasi menuntut Perdana Menteri Haiti Ariel Henry mundur dan menyerukan kualitas hidup yang lebih baik, di Port-au-Prince, Haiti, Senin (29/8/2022). (AP Photo/Odelyn Joseph)

Pada Sabtu (9/3), Kementerian Luar Negeri AS mengatakan Menteri Luar Negeri Antony Blinken berbicara dengan presiden Kenya tentang krisis Haiti dan keduanya menggarisbawahi komitmen mereka terhadap misi keamanan multinasional untuk memulihkan ketertiban.

Geng-geng kriminal bersenjata di Port-au-Prince memanfaatkan ketidakhadiran PM Henry untuk melancarkan serangkaian serangan terkoordinasi. Salah satu target mereka adalah bandara – yang ingin mereka kendalikan untuk mencegah Henry kembali – dan dua penjara, di mana mereka membebaskan ribuan narapidana.

Setidaknya enam petugas polisi tewas sementara Akademi Kepolisian Nasional dihancurkan. Mayat beberapa tahanan juga dibiarkan tergeletak di jalanan setelah penyerbuan lembaga pemasyarakatan nasional.

Kekerasan menyebabkan krisis kemanusiaan di Haiti semakin memburuk. Geng-geng kriminal bersenjata tersebut belum mengatakan apa tujuan mereka selain memecat Henry.

Jimmy "Barbecue" Cherizier, mantan petugas polisi yang memimpin aliansi geng bernama G9, mengancam jika Henry tidak mundur akan terjadi "perang saudara" yang menurutnya bisa berakhir dengan genosida.

"Kerusuhan telah menyebabkan 362.000 warga Haiti menjadi pengungsi - lebih dari setengahnya adalah anak-anak," sebut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).

Kepala IOM di Haiti Philippe Branchat menyatakan warga Haiti tidak dapat menjalani kehidupan yang layak.

"Mereka hidup dalam ketakutan dan setiap hari, setiap jam situasi ini terus berlanjut, traumanya semakin parah. Masyarakat yang tinggal di ibu kota terkurung, mereka tidak punya tempat tujuan," tutur Branchat.

"Ibu kotanya dikelilingi oleh kelompok bersenjata dan bahaya. Ini adalah kota yang dikepung."

Korban Penculikan Bebas

Protes Menuntut PM Haiti Ariel Henry Mundur
Pengemudi taksi membantu polisi menghilangkan penghalang jalan yang dibuat oleh pengunjuk rasa selama demonstrasi menuntut Perdana Menteri Haiti Ariel Henry mundur dan menyerukan kualitas hidup yang lebih baik, di Port-au-Prince, Haiti, Senin (29/8/2022). (AP Photo/Odelyn Joseph)

Kelompok bantuan Medecins Sans Frontieres (Doctors Without Borders) memperkirakan setidaknya 2.300 orang tewas dalam kekerasan pada tahun 2023 di lingkungan Port-au-Prince di Cite Soleil saja, yang merupakan rumah bagi 9 persen populasi ibu kota.

Dalam berita lain, lima orang yang diculik di Haiti bulan lalu, termasuk empat misionaris, telah dibebaskan dari penahanan. Hal tersebut dikonfirmasi kongregasi Katolik mereka pada hari Minggu.

Para misionaris diculik di Port-au-Prince, di mana penculikan untuk mendapatkan uang tebusan adalah hal biasa.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya