Liputan6.com, Naypyidaw - Sebuah kelompok etnis bersenjata Myanmar mengatakan pada Senin (6/5/2024) bahwa mereka telah merebut sebuah komando militer dan menahan ratusan personel junta militer di barat negara bagian Rakhine. Ini merupakan pukulan terbaru terhadap militer.
Bentrokan telah mengguncang Rakhine sejak Tentara Arakan (AA) menyerang pasukan keamanan pada November 2023, mengakhiri gencatan senjata yang sebagian besar telah dilaksanakan sejak kudeta militer pada tahun 2021.
Baca Juga
Militer masih menguasai ibu kota Rakhine, Sittwe, tetapi pasukan AA telah merebut wilayah di distrik sekitarnya, termasuk pangkalan di perbatasan dengan India dan Bangladesh.
Advertisement
Sebuah video yang dirilis oleh saluran media AA mengatakan kelompok itu telah merebut "Komando Operasi Militer 15 (MOC 15)" di dekat kota Buthidaung, sekitar 90 km sebelah utara Sittwe.
Video itu tidak menyebutkan kapan pasukan AA merebut lokasi tersebut, namun media lokal melaporkan bentrokan rutin di sekitar Buthidaung dalam beberapa hari terakhir.
"Rekaman video wakil komandan MOC 15 setelah periode pengepungan tertentu," demikian bunyi pesan yang dirilis dalam bahasa Burma, China, dan Inggris, seperti dilansir CNA, Selasa (7/5/2024).
"Setelah serangan terakhir pasukan junta menghadapi kekalahan total dan menyerah."
Gambar menunjukkan barisan panjang pria, beberapa mengenakan seragam militer, berjalan satu barisan melintasi lapangan.
Ada yang mengenakan celana pendek, kaus oblong, dan sandal, ada pula yang tidak memakai alas kaki. Beberapa gambar menunjukkan perempuan dan anak-anak menemani para laki-laki.
Seorang pria dengan perban di sekitar lututnya berjalan pincang dan beberapa di antaranya dibawa dengan tandu darurat.
Video tersebut juga menunjukkan sekitar 200 orang duduk berbaris di lapangan dan pria berseragam bersenjata mengawasi mereka.
Â
Dampak Konflik
AA adalah salah satu dari beberapa kelompok etnis minoritas bersenjata di wilayah perbatasan Myanmar, banyak di antaranya telah berperang melawan militer sejak kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948 demi otonomi dan kendali atas sumber daya yang menguntungkan. AA mengaku memperjuangkan otonomi yang lebih besar bagi penduduk etnis Rakhine.
Pada tahun 2019, bentrokan antara AA dan militer mengguncang wilayah tersebut dan menyebabkan sekitar 200.000 orang mengungsi. Tahun 2017, militer melancarkan tindakan keras terhadap minoritas Rohingya di sana yang kini menjadi subjek kasus genosida PBB.
"Sejak November, pertempuran telah menyebar ke 15 dari 17 kota di Negara Bagian Rakhine," kata kepala hak asasi manusia PBB bulan lalu.
"Ratusan orang tewas atau terluka dan lebih dari 300.000 orang mengungsi."
Advertisement