Rahasia Inovasi Cokelat Sehat dan Ramah Lingkungan dari Swiss, Seperti Apa?

Para Ilmuwan mengatakan inovasinya dapat membuat cokelat lebih sehat dan berkelanjutan, sekaligus memberikan sumber pendapatan baru bagi petani. Begini caranya.

oleh Najma Ramadhanya diperbarui 11 Jun 2024, 18:35 WIB
Diterbitkan 11 Jun 2024, 18:35 WIB
Ilustrasi cokelat  (sumber: Pixabay)
Ilustrasi cokelat (sumber: Pixabay)

Liputan6.com, Zurich - Cokelat yang lebih sehat dan berkelanjutan mungkin akan segera hadir di rak-rak toko setelah ilmuwan dan pembuat cokelat Swiss mengembangkan resep yang menggantikan gula dengan bahan tanaman yang biasanya dibuang.

Dengan menghancurkan daging dan kulit luar dari buah kakao alih-alih hanya mengambil bijinya, para ilmuwan berhasil membuat gel manis dan berserat yang dapat menggantikan gula dalam cokelat, menurut laporan yang diterbitkan di Nature Food.

Seperti dikutip dari The Guardian, Selasa (11/6/2024), pendekatan "makanan utuh" ini membuat produk yang lebih bergizi daripada cokelat konvensional dan menggunakan lebih sedikit lahan dan air, kata para ilmuwan, sambil tetap memuaskan keinginan untuk makanan manis.

"Buah kakao pada dasarnya seperti labu dan saat ini kita hanya menggunakan bijinya," kata Kim Mishra, seorang ahli teknologi pangan di ETH Zurich dan penulis utama studi tersebut.

"Namun ada banyak hal luar biasa lainnya di dalam buah ini."

Para peneliti menggunakan daging dan jus yang biasanya dibuang dari buah kakao untuk membuat gel yang dapat ditambahkan ke dalam cokelat sebagai pengganti gula kristal bubuk yang biasanya digunakan.

Biasanya, "memperkenalkan kelembaban ke dalam cokelat adalah hal yang sepenuhnya dilarang karena Anda pada dasarnya merusaknya," kata Mishra. "Kami melanggar salah satu aturan paling sakral dalam pembuatan cokelat."

Mishra mengatakan hasilnya dapat membuat cokelat lebih sehat dan berkelanjutan, sekaligus memberikan sumber pendapatan baru bagi petani.

Perlu Divalidasi dengan Uji Coba Percontohan

Ilustrasi paparan sinar matahari
ilustrasi matahari. (Foto: Pexels/Ricky Esquivel)

Penelitian menemukan bahwa di laboratorium, metode baru ini menggunakan 6% lebih sedikit lahan dan air, tetapi meningkatkan emisi pemanasan planet sebesar 12% karena memerlukan langkah pengeringan tambahan yang mengonsumsi banyak energi.

Namun, dengan meningkatkan skala proses dan mengeringkan daging buah di bawah sinar matahari atau menggunakan panel surya, mereka menemukan bahwa emisi gas rumah kaca dapat berkurang.

Alejandro Marangoni dari departemen ilmu pangan di University of Guelph di Kanada, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan bahwa penelitian tersebut merupakan proposal yang "cukup komprehensif" yang sekarang perlu divalidasi dengan uji coba percontohan.

Para petani di negara-negara tropis sering kali hanya mendapatkan sebagian kecil dari keuntungan yang dihasilkan oleh industri cokelat senilai $100 miliar atau Rp1,6 triliun. Karena pemrosesan daging buah kakao harus dilakukan di negara-negara tempat kakao ditanam, kata Marangoni, manfaat terbesar mungkin akan terlihat di sana.

"Jika ini diterapkan, itu akan menguntungkan negara-negara lokal. Sebagai konsumen, kita berharap mereka tidak merusak cokelat kita."

Identik dengan Cokelat Hitam Biasa

Ilustrasi Bubuk Kakao
Ilustrasi Bubuk Kakao (pixabay.com)

Cokelat merupakan salah satu makanan paling berpolusi yang bisa dikonsumsi seseorang, setara dengan beberapa jenis daging dalam hal emisi gas rumah kaca per kilogram makanan.

Mishra dan rekan-rekannya berusaha mengurangi limbah dalam proses produksi dan menemukan bahwa mereka juga bisa membuat cokelat lebih sehat.

Namun, balada pahit temuan ini  bagi para pecinta cokelat adalah bahwa produk baru tersebut kurang memiliki kemampuan penyesuaian yang dihargai industri dalam gula bubuk.

"Kemanisan gel ini sebanding tetapi tidak mencapai tingkat yang sama persis," kata Mishra.

"Membuat cokelat ini mengenai keseimbangan. Jika Anda menambahkan terlalu banyak gel pemanis, cokelat Anda tidak dapat diolah, jika Anda menambahkan terlalu sedikit maka cokelat Anda tidak cukup manis."

Meskipun demikian, Mishra mengatakan bahwa cokelat berbasis laboratorium ini "pada dasarnya identik" dengan cokelat hitam dalam hal tekstur dan serupa dalam rasa dengan cokelat hitam beraroma dari Amerika Selatan.

"Kemanisan yang dilepaskan di mulut Anda sedikit lebih lambat dibandingkan dengan cokelat hitam tradisional dan Anda mendapatkan lebih banyak nuansa buah dan keasaman dari airnya."

Cokelat Menjadi Salah Satu Tanaman yang Akan Punah karena Pemanasan Global

Sabun Cuci Piring dari Kulit Buah Cokelat
Ilustrasi biji cokelat. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Perubahan iklim yang mencakup pemanasan global telah menjadi isu global yang membawa dampak signifikan bagi seluruh makhluk hidup di Bumi, termasuk tanaman. Kenaikan suhu, perubahan pola cuaca, dan kerusakan alam akibat aktivitas manusia telah mendorong berbagai spesies tanaman ke ambang kepunahan, melansir dari laman Skeptical Science.

Dan cokelat menjadi salah satunya.

Menurut National Oceanic dan Atmospheric Administration, pemanasan global pada tahun 2050 dapat membuat tanaman cokelat terancam punah. Hal ini dikarenakan kenaikan suhu bumi memaksa para petani kakao untuk menemukan lahan yang lebih sejuk.

Diprediksi bahwa 89,5% lahan yang saat ini digunakan untuk menanam cokelat tidak akan sama pada pertengahan abad ke 21 nanti.

Sementara spesies tanaman lain yang terancam punah juga mencakup;

  • Pisang
  • Kopi
  • Alpukat
  • Pohon baobab Madagaskar

 

Infografis Merek-Merek Cokelat Lokal
Infografis Merek-Merek Cokelat Lokal. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya