Liputan6.com, Havana - Bahkan negara sosialis seperti Kuba, tempat kelahiran salsa dan banyak irama lain yang menguasai dunia, akhirnya menerima musik pop Korea Selatan (K-Pop).
Jarak sejauh 13.000 kilometer memisahkan negara Asia itu dari pulau tersebut. Keduanya juga mempunyai bahasa dan budaya yang berbeda.
Baca Juga
Namun, semua perbedaan tersebut lenyap dalam sedetik bagi kaum muda yang menghadiri "discorea," sebuah acara dansa bagi penggemar K-pop, dikutip dari laman VOA Indonesia, Selasa (10/9/2024).
Advertisement
Francisco Piedra (24) tidak pernah melewatkan satu acara pun dan berlatih setiap hari.
Ia bercita-cita menjadi koreografer K-pop.
"K-pop telah memberi saya kebahagian, K-pop telah memberikan saya sebuah dunia di mana saya dapat menjadi diri saya sendiri," ujar Piedra.
"Saya dapat tertawa, menyanyi, berdansa, dan mengekspresikan diri saya yang sebenarnya."
Para penggemar setia berkumpul di Havana hampir setiap akhir pekan untuk menunjukkan kelihaian mereka menari diiringi musik K-pop dan bertukar gosip terbaru tentang artis K-pop favorit mereka.
Awal tahun ini, Kuba dan Korea Selatan menjalin kembali hubungan diplomatik yang terputus setelah revolusi Kuba pada 1959.
Namun, K-Pop baru hadir di Kuba sekitar empat tahun lalu ketika layanan internet untuk ponsel akhirnya tersedia.
Terhubung ke Internet untuk Musik K-Pop
Laporan portal resmi Cubadebate minggu ini mengatakan, saat ini terdapat 7,5 juta pengguna yang terhubung ke Internet di Kuba, sekitar kurang lebih 70% dari populasi negara tersebut.
Mereka menggunakan ponsel untuk tetap mengikuti lagu-lagu K-pop dan gerakan terbaru. Mereka juga mengikuti estetika boy band dan girl band itu yang popular di seluruh dunia.
Tania Abreu, seorang insinyur elektronik dan pemimpin dari proyek budaya Macrocosmos, yang berfokus pada K-pop, mengatakan bahwa genre tersebut telah menjadi populer bukan hanya karena kualitas musiknya namun juga banyak lagu K-pop yang menyentuh isu-isu sosial yang banyak terjadi di Kuba.
Belum ada jumlah pasti dari para penggemar K-pop di Kuba, namun Abreu mengatakan, ribuan orang terlibat dalam proyek budaya tersebut dan kebanyakan dari mereka berasal dari Havana dan Santiago de Cuba, yang merupakan kota kedua terbesar di negara itu.
Advertisement