Liputan6.com, Damaskus - Pada 8 Desember 2024, Damaskus jatuh ke tangan pemberontak Suriah, menandai berakhirnya 24 tahun pemerintahan Bashar al-Assad.
Kini, bendera hijau, putih, dan hitam dari "Suriah Merdeka" berkibar di ibu kota, dan para pelaku industri pariwisata setempat mulai berupaya menghidupkan kembali sektor yang luluh lantak akibat perang berkepanjangan.
Advertisement
Baca Juga
Untuk pertama kalinya sejak perang sipil meletus pada 2011, maskapai penerbangan internasional seperti Qatar Airways dan Turkish Airlines kembali beroperasi di Damaskus. Meskipun pemerintah beberapa negara, termasuk Amerika Serikat dan Inggris, masih melarang warganya bepergian ke Suriah karena alasan keamanan, beberapa agen perjalanan petualangan mulai menawarkan tur ke negara tersebut.
Advertisement
Mengutip laman CNN, Kamis (13/2/2025), enam minggu setelah Assad digulingkan, Alsmadi, seorang operator tur lokal, menyambut kelompok wisatawan pertama di perbatasan Lebanon-Suriah pada pertengahan Januari 2025. Ia optimistis bahwa dengan berakhirnya rezim Assad, industri pariwisata di Suriah akan berkembang pesat.
Sebelum perang, pariwisata menyumbang sekitar 14 persen dari PDB Suriah. Pada 2010, lebih dari 10 juta wisatawan mengunjungi negara ini untuk menjelajahi situs-situs bersejarah seperti Palmyra, kota peninggalan Romawi yang sebagian besar hancur akibat ISIS, serta kastil-kastil era Perang Salib seperti Krak des Chevaliers.
Damaskus, salah satu kota tertua di dunia yang terus dihuni, juga menjadi daya tarik utama, selain pantai-pantai di pesisir Mediterania yang dahulu terkenal dengan resor tepi lautnya.
Tantangan Keamanan dan Politik
Meski optimisme menyelimuti sektor pariwisata, tantangan besar masih menghadang. Keamanan tetap menjadi perhatian utama, mengingat pemerintahan sementara di Suriah dipimpin oleh koalisi kelompok pemberontak, termasuk Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh pemerintah Inggris.
Dylan Harris, pendiri Lupine Travel, baru saja menyelesaikan penilaian keamanan di Suriah sebelum memulai tur pada Mei 2025. Menurutnya, situasi saat ini adalah yang paling aman dalam 14 tahun terakhir, meskipun tetap harus diwaspadai.
“Stabilitas masih bersifat sementara, dan semuanya akan lebih jelas dalam beberapa bulan ke depan. Jika pemerintahan transisi bisa berbagi kekuasaan dan menyusun konstitusi baru, maka ada harapan. Namun, jika terjadi konflik internal, maka kemungkinan besar perang sipil akan berlanjut,” ujar Harris.
Wilcox menambahkan bahwa kondisi relatif stabil saat ini cukup menjanjikan, tetapi berbagai faksi di Suriah masih ingin berperan dalam menentukan masa depan negara tersebut.
Advertisement
Wisata Sejarah
Sebelum perang, Suriah menarik wisatawan yang tertarik dengan sejarah. Namun, sejak konflik berakhir, daya tarik "dark tourism" atau wisata kelam juga mulai berkembang.
Beberapa agen perjalanan telah menyusun tur ke tempat-tempat bersejarah sekaligus saksi bisu kekejaman perang, seperti Penjara Saydnaya, di mana rezim Assad menyiksa dan mengeksekusi tahanan politik. Kota-kota seperti Aleppo dan Homs, yang hancur akibat perang, juga menjadi destinasi bagi wisatawan yang ingin melihat langsung dampak konflik berkepanjangan.
“Kita harus mengubah penjara-penjara tempat mereka menyiksa dan membunuh orang menjadi museum,” kata Habbab. “Dunia perlu mengingat kejahatan yang terjadi di sini, agar lebih memahami krisis pengungsi Suriah.”
Selain itu, situs seperti Palmyra juga menjadi pusat perhatian. Alsmadi mengatakan bahwa reruntuhan Palmyra mencerminkan sejarah panjang Suriah, sekaligus kehancuran yang terjadi akibat perang.
Nasib Pariwisata Suriah
Meskipun masih ada banyak tantangan, para pelaku industri pariwisata optimistis bahwa Suriah dapat segera bangkit. Infrastruktur wisata sebagian besar masih utuh, dan banyak pemandu wisata serta sopir yang sebelumnya bekerja di industri ini tetap bertahan di Suriah selama perang berlangsung.
Harris dari Lupine Travel meyakini bahwa Suriah dapat membangun kembali sektor pariwisatanya dengan cepat.
"Sebagian besar situs wisata selamat dari perang, banyak hotel masih berdiri, dan pemandu wisata tetap ada. Mereka hanya beralih profesi sementara, seperti menjadi fixer media selama konflik," ujarnya.
Advertisement