Kunci Sukses Sri Ubah Perilaku Hidup Tidak Sehat Warga

Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengubah kebiasaan buruk masyarakat Kecamatan Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

oleh Sulung Lahitani diperbarui 25 Okt 2016, 09:00 WIB
Diterbitkan 25 Okt 2016, 09:00 WIB
 Sri Zulfiana, sanitarian di Kecamatan Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur, Nusa  Tenggara Barat sedang mencontohkan cara mencuci tangan pakai sabun. (Foto: Dokumen Pribadi)
Sri Zulfiana, sanitarian di Kecamatan Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat sedang sedang mencontohkan cara mencuci tangan pakai sabun. (Foto: Dok Pribadi)

Liputan6.com, Lombok - Tidak mudah mengubah perilaku hidup tidak sehat di masyarakat. Hal ini dirasakan benar oleh Sri Zulfiana, sanitarian di Kecamatan Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengubah kebiasaan buruk masyarakat tersebut. Wanita kelahiran Aikmel, 25 April 1980 itu menuturkan perjuangannya menyadarkan masyarakat akan pentingnya memerhatikan kebersihan lingkungan.

Sri menyadari, mengubah kebiasaan tak seperti membalikkan telapak tangan. Menurutnya, 12 tahun lalu ketika pertama kali bekerja di Puskesmas Wanasaba, kondisinya tidak seperti sekarang.

Sri Zulfiana (tengah) bersama rekan-rekan kerjanya. (Foto: Dok Pribadi)

Masyarakat tidak begitu saja menerima dengan tangan terbuka para tenaga kesehatan dari Puskesmas. Kebanyakan warga cuek dengan kehadiran sanitarian ini saat terjun ke masyarakat.

“Mereka beranggapan, kami ini masih kecil. Masih junior. Jadi ya kami awalnya diremehkan,” aku Sri.

Namun, sifat warga yang keras itulah yang justru menjadi tantangan bagi Sri. Cita-citanya sedari kecil ingin mengabdi pada masyarakat mendapat ujian sebenarnya.

Sulitnya mengubah kebiasaan hidup tidak sehat warga

Sulitnya menyadarkan masyarakat untuk hidup bersih begitu terasa saat Sri dan teman-temannya mengajak mereka meninggalkan kebiasaan minum air mentah dari sumber mata air. Meski kekurangan air dan harus berjalan begitu jauh untuk mengambil air, warga desa di Kecamatan Wanasaba tidak terbiasa memasak air mereka sebelum dikonsumsi.

Kebiasaan turun-temurun itu membuat mereka berkilah tidak akan sakit saat diingatkan pentingnya memasak air yang akan dikonsumsi. Padahal, nenek moyang mereka biasa melakukan hal tersebut karena saat itu air belum tercemar oleh polusi seperti sekarang.

"Malahan ada yang bilang, 'Saya tidak pernah sakit. Kalau saya minum air yang dimasak, pasti sakit.' Saya bilang, dicoba dulu. Kalau memang sakit sehabis minum air dimasak, kami biayai perawatan rumah sakit," cerita Sri panjang lebar saat ditemui Liputan6.com di balai desa, ditulis Selasa (25/10/2016).

Tidak hanya kebiasaan mengonsumsi air mentah yang menjadi kendala mengubah perilaku hidup tidak sehat masyarakat Wanasaba, budaya gotong royong cuci tangan di satu mangkuk juga menjadi penyebab mudahnya penyakit menular menyebar di kecamatan tersebut.

Sri menuturkan pada masyarakat NTB ada kebiasaan untuk mencuci tangan di satu mangkuk saat begawe (pesta). Ketika itu, tamu yang datang akan membasuh tangan mereka di satu tempat yang sama sebelum mencicipi makanan yang dihidangkan tuan rumah.

"Hal ini tentu saja memudahkan penyebaran penyakit menular. Contohnya nih, terjadi angka hepatitis paling tinggi di NTB ya karena budaya itu," ungkap Sri.

 

STBM 5 pilar titik tolak perubahan warga

Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, membuat Sri bersama tenaga kesehatan Puskesmas lainnya terjun langsung ke masyarakat. Puskesmas menurunkan tim untuk memberikan penyuluhan pada masyarakat tentang perlunya hidup bersih.

Dari 14 desa yang ada di Wanasaba, desa Beriri Jarak dipilih menjadi desa percontohan penerapan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) 5 Pilar. Desa ini dipilih karena Beriri Jarak memiliki sumber air. Diharapkan, jarak yang tak terlalu jauh dengan sumber air membuat masyarakat di desa ini tak terlalu sulit untuk diberi pengertian pentingnya menjaga lingkungan.

Setelah air bersih masuk ke desa, kesuksesan STBM 5 Pilar menjadi target jangka panjang Sri bersama rekan-rekannya. STBM 5 Pilar itu sendiri terdiri dari: stop buang air besar sembarangan, cuci tangan pakai sabun, pengelolaan air minum dan makanan, pengelolaan sampah, serta pembuatan saluran pembuangan air limbah (SPAL).

Warga diajak untuk berhenti buang air besar di kebun atau ladang. Terlebih sejak masuknya air dan keringanan pembayaran pembuatan kakus, warga sudah seharusnya membiasakan diri untuk buang air besar di tempat yang disediakan.

Selain itu, perilaku mencuci tangan dengan sabun pun mulai digalakkan di masyarakat. Sri beserta kader lainnya memberi edukasi pentingnya mencuci tangan dengan sabun, baik setelah buang air maupun setelah bekerja di ladang.

Warga kini sudah memiliki WC sederhana di rumah. (Foto: Dok Pribadi)

Pengelolaan air minum, makanan, dan sampah pun berarti tidak ada kendala. Sri menuturkan kalau masuknya air ke desa yang menjadi titik tolak perubahan perilaku hidup tidak sehat warga desa Beriri Jarak.

"Sejak air masuk dengan lancar ke desa, kami seperti diberi kemudahan mengajak masyarakat untuk mau memasak air yang mereka minum," kata Sri yang telah menjadi sanitarian sejak 2004.

Tidak hanya itu, warga pun mulai diajarkan untuk memilah sampah pembuangan mereka. Atas dasar inisiatif kepala desa, tiap rumah harus menyediakan dua karung sampah. Satu untuk sampah kering dan satu untuk sampah basah. Nantinya, tiap beberapa hari sekali ada petugas yang ditunjuk untuk mengangkut sampah tersebut ke tempat pembuangan.

Tidak ada artinya sampah dikelola dengan baik bila pembuangan air limbah rumah tangga dibiarkan begitu saja. Warga pun diajarkan cara membuat saluran pembuangan yang benar. Perlahan tapi pasti, warga pun mulai menyadari pentingnya perilaku hidup sehat.

Perubahan yang mulai menampakkan hasil

Walau awalnya tidak mudah, Sri merasa gembira saat melihat warga desa mulai meninggalkan kebiasaan buruk mereka. Warga mulai memahami penyakit-penyakit yang bisa menyerang bila mereka membiasakan lingkungan sekitar kotor atau berperilaku tidak sehat.

"Sekarang masyarakat sudah mengerti. Malahan, mereka sekarang mengajarkan kita untuk cuci tangan. Saat begawe-pun, mereka berinisiatif menggunakan cerek untuk mengucurkan air dan tidak menggunakan satu tempat cuci tangan yang sama lagi," tutur dia dengan mata berbinar-binar.

Warga Wanasaba melaksanakan mencuci tangan pakai sabun. (Foto: Dok Pribadi)

Mengubah kebiasaan tersebut memang butuh waktu bertahun-tahun. Karena itu, setiap ada kegiatan, Sri beserta tenaga kesehatan lainnya tak henti memberi penyuluhan untuk hidup sehat.

Kepada tokoh masyarakat pun, Sri menitipkan pesan untuk hidup sehat. Karenanya, tidak heran dalam kajian rohani ataupun pertemuan dengan perangkat desa, penyuluhan pentingnya hidup sehat keluar dari mulut tokoh masyarakat tersebut.

Sri tak menampik ada juga warganya yang terkadang mengabaikan STBM 5 Pilar itu. Oleh sebab itu, puskesmas setempat memiliki kader yang turun ke lapangan untuk memantau warga agar menerapkan STBM 5 Pilar.

Berkat kerja keras Sri bersama rekan-rekan, Puskesmas Wanasaba menjadi percontohan puskesmas lainnya. Malahan, puskesmas ini menjadi pencetus lahirnya Konseling Sanitasi di Kabupaten Lombok Timur. Satu ruangan disediakan bagi pasien atau warga yang ingin berkonsultasi tentang penyakit berbasis lingkungan atau cara hidup sehat.

Ke depannya, Sri berharap tak hanya desa Beriri Jarak yang menerapkan STBM 5 Pilar tersebut. Ia memiliki mimpi, suatu saat, keempat belas desa yang ada di Kecamatan Wanasaba bisa mengaplikasikan STBM 5 Pilar.

“Penginnya sih, satu kecamatan Wanasaba mendeklarasikan diri sebagai Kecamatan dengan STBM 5 Pilar. Tidak lagi satu atau dua desa saja,” tutupnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya