Liputan6.com, Jakarta Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 27 Oktober 2016 terkait perubahan ketentuan Pasal 29 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang berfokus Perjanjian Perkawinan disambut antusias para pasangan kawin campur di Tanah Air. Salah satu perubahan peraturan ini memberikan kelebihan bagi perempuan karena diskriminasi kepada mereka menjadi hilang.
Baca Juga
Advertisement
Menurut Ike Farida, Koordinator Advokasi Perkawinan Campuran Indonesia, keputusan MK ini termasuk luar biasa. Pemerintah telah mengambil langkah berani berupa perubahan undang-undang lama.
"Undang-undang lama itu sebenarnya sangat sulit diubah dan sudah sangat keramat. Undang-undangnya sudah ada sejak 1974 sampai sekarang berarti sudah 42 tahun. Perjanjian kawin hanya dibuat saat ijab kabul di sini. Selama perjalanan puluhan tahun lantas diubah kan itu sesuatu yang luar biasa, sebuah gebrakan yang juga luar biasa," kata Ike saat berbincang dengan wartawan di Arion Swiss-Bellhotel, Kemang, Jakarta, Kamis (24/11/2016).
Adanya perubahan Perjanjian Perkawinan berdampak pada materi perkuliahan, harus diganti tentang perjanjian kawin, hukum, dan peraturan-peraturan di bawahnya. Konsep-konsep perjanjian akan berubah soal jaminan hak kepemilikan tanah dan bangunan. Perubahan pun berpengaruh pada perjanjian kawin lain yang sudah ada sebelumnya.
"Misal saya menikah dan sudah ada perjanjian kawin sejak tahun 2000. Saya mau betulin, ya bisa juga. Kalau zaman dulu tidak fenomenal dan tidak bisa diubah. Bagi kami pelaku kawin campur, saat akad atau sebelum kawin belum perlu banget perjanjian kawin. Kita tidak tahu karena masih umur 21 tahun dan sama-sama miskin lah, belum punya apa-apa, ketemu (pasangan) di kampus, cita-cita tidak ada. Yang penting mikirnya, kita menjalin rumah tangga sakinah mawaddah warahmah," tutur Ike sambil memberikan contoh.
Berhak Punya Kepemilikan
Berhak Punya Kepemilikan
Ia menjelaskan lebih lanjut, perjalanan hidup membuat seseorang ingin membeli tanah. Ketika membutuhkan tanah, hukum yang berlaku tidak memperbolehkan perempuan punya kepemilikan tanah. Hal ini dikarenakan pasangan termasuk orang asing dan tidak punya perjanjian kawin.
"Jadi, ya tidak bisa beli tanah karena kendala suami orang asing. Itu yang terjadi dengan saya. Saya ini WN, di Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan, kepemilikan tanah adalah hak kita semua.
Kenapa saya tidak boleh beli? Karena tidak punya perjanjian kawin. Nah, sekarang kan bisa beli (sudah ada perjanjian kawin)," jelas Ike.
Dalam sesi penutup perbincangan perubahan Perjanjian Perkawinan, Ike menyampaikan, perempuan sama halnya dengan laki-laki. Perempuan yang kawin campur memiliki kesetaraan dengan perempuan WNI lain yang menikah sesama WNI.
"Tidak ada diskriminasi bagi perempuan untuk punya hak kepemilikan bangunan. Tapi list data kepemilikan harus didiskusikan dengan suami," tutupnya.