Sepak Terjang Dwi Murti Pernah Jadi Pengajar Muda di Pulau Bawean

Dwi Murti, lulusan Pogram Studi Jepang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, pernah jadi pengajar muda di Pulau Bawean, Jawa Timur, juga di Fakfak, Papua Barat.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 05 Mei 2018, 12:00 WIB
Diterbitkan 05 Mei 2018, 12:00 WIB
Indonesia Mengajar
Dwi Murti pernah menjadi pengajar muda di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur dan Kabupaten Fakfak, Papua Barat. (Arsip Dwi Murti)

Liputan6.com, Jakarta Selama setahun menjadi pengajar muda di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur setidaknya aku bisa membuat anak-anak mampu baca, tulis, dan berhitung. Target pun tidak muluk-muluk (tidak terlalu tinggi). Ketika melihat mereka sudah bisa melakukan itu semua, rasanya bahagia sekali.

Ungkapan bahagia dari Dwi Murti (25) menjadi pembakar semangat dan membuat siapa pun terharu. Pengalaman Dwi ini ia lakoni sepanjang 2015 sampai 2016. Melalui Gerakan Indonesia Mengajar, ia ditempatkan mengajar anak-anak SD di Pulau Bawean. Lokasi Dwi mengajar pun berada di atas gunung.

Walaupun lokasi mengajar berada di daerah terpencil, Dwi punya motivasi tinggi untuk berkontribusi memajukan negara, salah satunya di bidang pendidikan. Ia mengakui dirinya tidak punya ilmu yang cukup untuk membuat gerakan apa pun atau harta yang cukup buat disumbangkan.

"Aku cuma bisa nyumbang badan sama waktu jadi volunteer saja. Seperti tag Indonesia Mengajar, 'Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik nyalakan lilin yang menerangi sekitar.' Terdengar sangat filosofis ya," tawa Dwi.

Ketika tiba di lokasi, suasana kegiatan belajar mengajar lebih banyak diajar oleh guru honor. Guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) hanya satu atau dua guru saja. Kekurangan guru PNS bukan hanya dialami di Pulau Bawean. Rata-rata penempatan lokasi mengajar di daerah terpencil juga mengalami kondisi serupa.

Pria lulusan Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia ini juga pernah mengalami hari-hari sulit, siswa yang masuk sedikit.

"Saat hari panen padi tiba di Pulau Bawean, anak-anak yang masuk sekolah sedikit. Mereka ada yang membantu orangtuanya kerja di sawah,atau disuruh jagain adik di rumah karena orang tua lagi ikut memanen padi. Pernah juga sih, ada yang masuk, tapi adiknya yang kecil dibawa ke sekolah karena di rumah tidak ada orang, 'Sudah pulang saja, daripada adikmu menangis terus malah Bapak jadi tidak bisa mengajar.' Anaknya nurut, dia langsung pulang," kata Dwi tatkala berbincang dengan Health Liputan6.com melalui sambungan telepon Jumat (4/5/2018).

 

 

 

Simak video menarik berikut ini:

Pengajaran dibuat kreatif

Pengajar Muda
Dwi bersama anak-anak di kelas. (Arsip Dwi Murti)

Di Pulau Bawean, Dwi ditugaskan mengajar Matematika dan Bahasa Inggris untuk kelas 4, 5, dan 6. Situasi mengajar memang tidak bisa dibandingkan dengan sekolah-sekolah di kota besar, baik dari segi fasilitas sekolah, pengajar, hingga kemampuan siswa itu sendiri.

"Kondisinya memang jauh dari kata ideal, kadang stres juga, terutama kelas 6 yang akan Ujian Nasional. Sulit sekali kalau harus mengejar target nasional, tapi aku coba saja semaksimal mungkin mengajar mereka. Masalah nilai yang didapat itu belakangan. Tiap anak punya keunggulan di mata pelajaran tertentu, aku coba kejar di sana. Lagi pula karakter anak beda-beda. Karena muridnya sedikit, jadi bisa lebih baik dalam memperhatikan satu persatu karakter mereka," Dwi menjelaskan.

Demi membantu anak-anak menangkap pelajaran, Dwi berusaha menerapkan metode pengajaran yang kreatif dan menarik kepada anak-anak. Kadang ia juga menggunakan media seperti film dan lagu supaya anak anak tertarik belajar. Harapannya selain membantu anak menyerap pengajaran, juga supaya guru-guru lokal bisa menggunakan cara menarik dalam mengajar.

"Sebisa mungkin, aku ngajar dibikin kreatif. Contohnya, nayangin film soal Animal (Binatang) gitu. Nanti sekalian berhitung. Atau bikin lagu berhitung. Nantikan anak-anak ikutan nyanyi. lama-lama mereka bisa hapal," ucap Dwi, yang ditugaskan sebagai guru bantu.

Aktivitas Dwi tidak hanya mengajar saja. Ia juga membagi waktu dengan mengadvokasi Dinas pendidikan terkait berbagai persoalan yang ada di sekolah lokasi penempatannya. Seperti menyampaikan informasi soal kompetisi yang bias diikuti siswa di Bawean, seperti Olimpiade Sains Quark atau lomba menulis cerita dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Akses informasi yang lumayan terbatas, kadang bisa jadi penghambat juga. Sebisa mungkin harus lebih aktif mencari informasi kegiatan lain, misalnya, macam-macam kompetisi atau kegiatan lain yang bisa diikuti anak-anak di sekolah" Dwi melanjutkan.

Selama mengajar di sana, Dwi masih menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)--Kurikulum 2006.

Ajarkan guru Ms Office

Pengajar Muda
Keceriaan Dwi bersama anak-anak Pulau Bawean. (Arsip Dwi Murti)

Selama menjadi pengajar muda, Dwi tidak hanya fokus menerapkan pengajaran yang kreatif kepada anak-anak. Ia juga mengajarkan guru-guru, cara menggunakan Microsoft Office, seperti Ms Word maupun Ms Excel. Hal ini demi meningkatkan kualitas kinerja guru.

"Ngajarin juga guru-guru menggunakan Ms Office. Agar pekerjaan jadi lebih mudah. Kalau dulu harus memasukkan nilai raport secara manual, sekarang mereka bisa langsung mengetik di laptop. Praktis dan cepat memasukkan nilai anak-anak juga atau supaya bias lebih kreatif lagi dalam bikin soal," Dwi menambahkan.

Untuk fasilitas kelengkapan mengajar, seperti buku pelajaran dan alat-alat tulis sudah tersedia. Sayangnya, tidak dimiliki semua siswa. Ketika belajar di kelas, satu buku pelajaran bisa untuk beberapa siswa. Ada yang duduk berdua sampai bertiga. Buku pelajaran pun lebih banyak dipegang oleh guru-gurunya saja. Dana untuk kegiatan sekolah diperolah dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Meski buku pelajaran terbilang terbatas, anak-anak tetap bisa belajar menyenangkan. Kegiatan belajar mengajar tidak selalu dilakukan di kelas, Dwi juga mengajak anak-anak belajar di luar ruangan.

Selain itu, tingkah laku anak-anak menjadi suasana menarik yang harus dihadapi Dwi tiap hari. Ada anak yang suka cari perhatian alias caper atau tidak bisa diam di kelas. Pernah juga ada anak yang emosi tinggi.

"Ada anak yang marah dan suka melempar barang-barang gitu. Ternyata orangtuanya itu pekerjaannya sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Kalau di Pulau Bawean itu kebanyakan orangtua kerjanya jadi TKI. Nah, anak itu diasuh tiap hari sama neneknya di rumah. Jadi, semua permintaan harus dituruti. Soalnya dia di rumah juga begitu, apa pun yang mau, dituruti," ungkap Dwi.

Tantangan seperti itulah yang harus dihadapi Dwi. Kebiasaan dan pendidikan yang diterapkan dari rumah dibawa ke sekolah. Sulit mengubah kebiasaan yang sehari-hari diterapkan di rumah. Meski begitu, kedekatan Dwi dan anak-anak tetap terjaga. Ia bermain dan berfoto bersama dengan anak-anak.

Pengajar muda di Fakfak

Pengajar Muda
Anak-anak SD di Fakfak lebih pintar. (Arsip Dwi Murti)

Keaktifan Dwi menjadi pengajar muda juga pernah dilakoninya di Kabupaten Fakfak, Papua Barat pada 2014 sampai 2015. Jika di Pulau Bawean Dwi ditempatkan di wilayah pegunungan, di Fakfak, Dwi bertugas di sebuah pulau bernama Pulau Arguni. Lokasi pun termasuk area pesisir, yang dekat dengan laut.

"Karakter anak-anak cukup berbeda. Anak pesisir itu cenderung lebih percaya diri dan lebih aktif, sedangkan kalau anak SD di Pulau Bawean, yang tinggal di gunung kesannya cenderung pemalu dan pendiam" ujar Dwi sambil tertawa.

Dana sekolah yang diperlukan juga diperoleh dari Otonomi Daerah, yang berupa Dana Otsus (Otonomi Khusus). Ketersediaan peralatan dan perlengkapan belajar juga cukup. Serupa dengan di Pulau Bawean, Dwi juga berusaha menerapkan pengajaran kreatif.

"Kalau di Fakfak, lebih banyak diputar soal film-film bertemakan laut gitu. Ya, disesuaikan sama tempat tinggal mereka. Kan mereka tinggal di dekat laut," tutur Dwi, yang kini bekerja di salah satu perusahaan Jepang di Jakarta.

Ada satu hal yang membuatnya berkesan, yakni tempat tinggal. Di Fakfak, Dwi harus tinggal di rumah sendirian (bukan di rumah warga). Berbeda saat di Pulau Bawean, ia tinggal di rumah salah satu warga. Lokasi sekolah dan rumah yang berada di sebuah pulau terpencil cukup jauh dari jangkauan dunia luar. Jika ingin ke kota atau sesekali berjalan-jalan, ia harus menyeberangi sungai dengan perahu.

Selama dua kali ikut Gerakan Indoinesia Mengajar, ada kebahagiaan yang sangat besar bagi Dwi. Ia bahagia melihat anak-anak termotivasi melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi.

“Hasil usaha yang aku lakukan maupun yang sudah ada pada program ini (Gerakan Indonesia Mengajar) tidak akan bisa dilihat langsung atau beberapa tahun yang akan datang, tapi jauh sekali di masa depan, ketika mereka besar nanti. Yang penting melihat semangat mereka saat datang ke sekolah setiap hari, perkembangan mereka di kelas, dan ke mana melanjutkan sekolah setelah lulus SD. Itu kebahagiaan tersendiri bagi aku pribadi”.

Pendidikan itu, lanjut Dwi adalah tanggung jawab semua pihak, tidak hanya pihak sekolah atau pemerintah. Peran dari pihak lain, terutama keluarga sebagai tempat bagi anak menghabiskan paling banyak waktu juga berperan sangat penting dalam membentuk karakter anak. Kita harus saling peduli dan ikut serta meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya