Mau Kurangi Perokok Remaja, Klinik Berhenti Merokok Harus Ditanggung BPJS

Klinik berhenti merokok yang belum ditanggung BPJS saat ini, menjadi alasan mengapa masyarakat enggan pergi ke tempat pelayanan kesehatan tersebut

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 05 Jun 2018, 16:30 WIB
Diterbitkan 05 Jun 2018, 16:30 WIB
Gambar kemasan rokok terbaru diluncurkan Kementerian Kesehatan RI (Foto: Screenshot video Kemenkes RI)
Gambar kemasan rokok terbaru diluncurkan Kementerian Kesehatan RI (Foto: Screenshot video Kemenkes RI)

Liputan6.com, Jakarta Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) meminta agar pelayanan kesehatan memiliki klinik untuk berhenti merokok. Hal itu untuk mengurangi jumlah perokok aktif di Indonesia serta mengurangi jumlah korban rokok yang menderita penyakit kardiovaskular dan penyakit lainnya.

Selain itu, diharapkan agar klinik semacam ini tetap bisa dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Ini karena, klinik berhenti merokok yang telah tersedia belum ditanggung oleh BPJS. Itu menjadi salah satu penyebab masih kurangnya kesadaran masyarakat tentang adanya klinik tersebut.

"Mengharapkan adanya satu terwujudnya, klinik-klinik setop merokok di tingkat pelayanan primer, yang dapat dibayar BPJS," ujar Ketua Umum Pengurus Pusat PERKI Dr. dr. Ismoyo Sunu, Sp.JP (K), FIHA, FasCC di Heart House yang merupakan kantor PERKI di Jakarta Barat pada Selasa (5/6/2018). 

Menurut Anggota Departemen Keorganisasian PERKI dr. Ade Meidian Ambari, klinik merokok di Rumah Sakit Harapan Kita sendiri memang belum dibiayai oleh BPJS.

"Sehingga pasien juga enggan untuk datang, untuk masuk ke klinik berhenti merokok," ujar Ade menambahkan.

Simak juga video menarik berikut ini:

 

7 Juta Orang Meninggal Dunia karena Konsumsi Tembakau

dr Ismoyo Sunu
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) meminta agar pelayanan kesehatan memiliki klinik untuk berhenti merokok (Dok: PERKI)

Data Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2015 mengatakan, lebih dari sepertiga anak laki-laki usia 13 hingga 15 tahun di Indonesia saat ini mengonsumsi produksi tembakau.

PERKI juga mengutip data yang dihimpun dari The Jakarta Post bahwa, lebih dari 3,9 juta anak di antara usia 10 sampai 14 tahun menjadi perokok setiap tahunnya. Serta, setidaknya 239 ribu anak di bawah umur 10 tahun sudah mulai merokok. Sementara, lebih dari 40 juta anak di bawah 5 tahun menjadi perokok pasif.

"Berdasarkan data WHO sedikitnya 7 juta orang meninggal dunia karena konsumsi tembakau. Studi membuktikan, bahwa jika harga rokok dinaikkan maka akan berdampak positif bagi kesehatan masyarakat dan pendapatan negara, salah satunya yaitu studi yang dilakukan di Afrika Selatan dan Perancis, 1990 hingga 2005," Ismoyo menambahkan.

"PERKI mendukung terwujudnya cukai ditingkatkan sampai 66 persen, karena sudah dibuktikan pada studi tersebut bahwa peningkatan cukai rokok 3 kali akan mengurangi separuh dari jumlah perokok aktif," ujarnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya