Liputan6.com, Jakarta Menuju eliminasi perkawinan anak secara global tahun 2030 menjadi salah satu target United Nations Sustainable Development Goals. Dari data Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekitar 12 juta anak perempuan dalam setahun menikah sebelum usia 18 tahun.
Baca Juga
Advertisement
Adanya perkawinan anak memberikan konsekuensi buruk terhadap kesehatan dan pendidikan. Konsekuensi berupa kehamilan yang belum matang sampai tidak bisa melanjutkan pendidikan.
Target eliminasi atau mengakhiri perkawinan anak pada tahun 2030 diharapkan dapat terwujud. Lantas apakah target tersebut dapat diwujudkan? Chef Executive Officer Plan International, Anne-Birgitte Albrectsen menanggapi hal tersebut.
"Untuk eliminasi perkawinan anak tahun 2030, kita harus berupaya mengurangi persentase perkawinan anak di berbagai negara di dunia. Persentase setidaknya turun menjadi 2-3 persen per tahun. Selanjutnya, kita harus mengurangi lebih banyak lagi perkawinan anak," kata Anne-Birgitte saat sesi wawancara eksklusif di The Hermitage, Jakarta, Kamis (28/6/2018).
Perkawinan anak tidak hanya membuat anak perempuan berisiko berhenti sekolah, tapi juga meningkatkan risiko eksploitasi, kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan kematian saat melahirkan.
Â
Â
Simak video menarik berikut ini:
Pahami risiko perkawinan anak
Anne-Birgitte mengharapkan, setiap guru sekolah dan orangtua harus memahami risiko perkawinan anak.
"Setiap orangtua juga harus paham kalau perkawinan anak bukanlah satu-satunya solusi. Para praktisi kesehatan juga harus memberikan edukasi, anak perempuan yang ingin menikah dini itu sebenarnya badannya belum siap untuk hamil," Anne-Birgitte menambahkan.
Kita harus menyerap lebih banyak lagi informasi soal perkawinan anak. Anne-Birgitte tetap optimis, target eliminasi perkawinan anak tahun 2030 dapat tercapai.
"Saya tidak kehilangan harapan untuk itu (eliminasi perkawinan anak tahun 2030)," tutup Anne-Birgitte.
Advertisement
Perkawinan anak dicegah
Berdasarkan data United Nations Children's Fund (UNICEF), sekitar 25 juta perkawinan anak telah dicegah dalam beberapa dekade terakhir. Penurunan terbesar terjadi di Asia Selatan, yang mana risiko seorang gadis yang menikah di bawah 18 turun dengan persentase dari 50 persen menjadi 30 persen.
Melansir laman Thomson Reuters Foundation, kemiskinan kerap menjadi alasan utama perkawinan anak. Namun, konflik berkepanjangan, misal di Suriah atau cuaca ekstrem di negara-negara, seperti Bangladesh, Mali, dan Niger membuat banyak anak perempuan berisiko mengalami perkawinan anak.
UNICEF juga memperingatkan akan ada 150 juta anak perempuan lain yang terkena dampak perkawinan anak pada tahun 2030 bila perkawinan anak tidak segera dihentikan.