Waspada Modus Baru Perdagangan Anak ke Papua

Selama enam bulan terakhir, ditemukan beberapa kasus dengan berbagai modus terkait perdagangan anak ke Papua.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 07 Agu 2018, 11:00 WIB
Diterbitkan 07 Agu 2018, 11:00 WIB
20160401-Ilustrasi-Eksploitasi-Anak-iStockphoto
Muncul kasus perdagangan anak ke Papua dalam enam bulan terakhir. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Kasus perdagangan anak saat ini rupanya mulai menyasar korban untuk tujuan Papua. Dalam enam bulan terakhir, setidaknya ada tiga kasus anak yang terindikasi menjadi korban perdagangan anak ke Papua.

Dari catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pelaku perdagangan anak menyasar anak-anak yang bermasalah di dalam keluarga. Misal, sebutlah Bunga (14) merupakan anak pekerja migran. Ia putus sekolah, hanya sampai kelas 2 SMP.

Selanjutnya, pelaku membujuk dan memaksa, serta menyiapkan KTP orang lain untuk dipinjamkan kepada korban. Hal ini untuk mengelabui petugas bandara.

Fakta lain, korban diajak untuk suntik KB. Pelaku memberikan info kalau suntik KB untuk berjaga-jaga jika ada sesuatu hal. Selanjutnya, korban harus menyepakati perjanjian utang piutang untuk ongkos dan tempat tinggal.

"Ada laporan dari Kabupaten Pringsewu, Lampung, anak dipekerjakan ke Papua dan belum ada kabar hingga kini. Lalu, ada dua remaja asal Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang juga dipekerjakan di sebuah karaoke sebagai pemandu lagu (PL), yang akan dieksploitasi secara seksual," tulis Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi, Ai Maryati Solihah, sesuai rilis yang diterima Health Liputan6.com, ditulis Selasa (7/8/2018).

Namun, dua remaja yang diperdagangkan ke Papua itu berhasil melarikan diri ke Polres Boven Digul, Papua, hingga akhirnya diantar pulang ke Malang.

 

 

Simak video menarik berikut ini:

Penawaran jadi pemandu lagu

Ilustrasi bernyanyi (iStock)
Ada penawaran jadi pemandu lagu. (iStock)

Berdasarkan catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Papua masuk dalam peta jaringan penerimaan perdagangan orang di 2017.

Bukan hanya Papua, daerah penerimaan perdagangan orang juga mencakup Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Ada modus lain yang sering ditawarkan kepada korban. Salah satunya menawarkan pekerjaan sebagai pemandu lagu karaoke. Faktanya, korban juga harus melayani tamu laki-laki.

"Korban berpakaian minim, ikut minum-minuman keras. Bahkan, mengonsumsi obat terlarang," Ai melanjutkan.

Pelaku bukan hanya berperan sebagai perekrut, tapi punya usaha karaoke di Papua. Adanya hal tersebut butuh penyelidikan dari aparat, apakah perdagangan anak sudah sering dilakoni.

Kepemilikan tempat hiburan

Ilustrasi penjara
Butuh penyelidikan dan hukuman untuk pelaku perdagangan anak. (iStock)

Dari 2011 sampai 2018, jumlah pelaporan kasus trafficking dan eksploitasi yang masuk ke KPAI merangkak. Sampai saat ini, kasus tersebut berjumlah 1.956 kasus.

Untuk menyikapi anak-anak yang ditempatkan ke Papua untuk dipekerjakan, KPAI merekomendasikan, kepada kepolisian untuk melakukan pemeriksaan pada pelaku terkait kepemilikan tempat hiburan karaoke di Papua.

Pemeriksaan soal kepemilikan tersebut untuk memastikan, apakah lokasi karaoke menjadi tempat memakan korban yang sudah bertahun-tahun, lanjut Ai.

Untuk proses hukum, KPAI memberikan masukan soal pasal maksimal kepada pelaku sesuai UU No 21/2007 tentang PTPPO dan UU No 35/2014 tentang Perlindungan anak maksimal 15 tahun penjara.

Tidak pekerjakan anak di bawan 18 tahun

20160401-Ilustrasi-Eksploitasi-Anak-iStockphoto
Tidak pekerjakan anak di bawah 18 tahun di tempat karaoke. (iStockphoto)

KPAI juga akan mengajak para pemilik industri hiburan yang bergerak dalam bidang karaoke di Indonesia untuk tidak mempekerjakan anak di bawah 18 tahun. Langkah ini agar anak terhindar dari kerentanan eksploitasi seksual.

Sebagai upaya pencegahan, KPAI ingin memastikan agar perhatian pemerintah pada anak-anak pekerja migran harus lebih optimal.

"Sebab mereka (anak-anak) dari keluarga rentan yang diasuh nenek, kakek atau keluarga, selain orangtua. Hal ini menimbulkan banyak potensi anak-anak jadi bermasalah. Mereka tidak betah di rumah dan terganggu pendidikannya," kata Ai.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya