Membangun Rumah di Jepang Harus Lulus Uji Tahan Gempa

Membangun rumah tidak bisa asal-asalan, harus lulus hitungan tahan gempa.

oleh Benedikta Desideria diperbarui 26 Nov 2022, 15:25 WIB
Diterbitkan 07 Agu 2018, 14:30 WIB
Gempa 6,8 SR Guncang Jepang
Retakan terjadi pada ruas jalan pasca-gempa 6,8 SR di kota Nagano, Jepang, Sabtu (22/11/2014). (JAPAN OUT AFP PHOTO/Jiji Press)

Liputan6.com, Jakarta Menyadari negaranya rawan gempa, pemerintah Jepang tak cuma memiliki sistem peringatan bencana dan rutin melakukan simulasi mitigasi bencana. Jepang juga membuat aturan khusus mengenai bangunan di sana agar tahan gempa.

"Membangun rumah pun harus lulus hitungan tahan gempa. Ini sudah ada hukumnya," kata Andreas Hermawan yang sudah tinggal selama 22 tahun di Shizuoka, Jepang.

Lalu, di titik-titik rawan gempa, ada larangan membangun gedung dengan tinggi melebihi ketentuan tertentu.

Bila aturan membangun gedung atau rumah sudah jelas dan dipatuhi, warga akan mendapat rasa aman. Sigit, warga negara Indonesia yang sudah 5 tahun bermukim di Tokyo menduga rasa aman itu yang membuat masyarakat di Jepang bisa melakukan mitigasi bencana dengan baik.

"Bisa jadi itu yang membuat orang Jepang tidak lari, tetap tenang, bahkan tetap bekerja, dan melindungi diri ketika ada gempa. Ya, karena percaya dengan (kondisi) bangunannya," kata Sigit, warga negara Indonesia yang sudah 5 tahun tinggal di Tokyo.

 

 

Saksikan juga video menarik berikut:

Rutin latihan menghadapi bencana

Ilustrasi masyarakat Jepang
Ilustrasi (AFP)

Saat gempa datang, baik anak kecil hingga orang tua yang tinggal di Jepang pun sudah tahu harus berbuat apa. Misalnya saat gempa datang, tidak boleh bergerak.

Lalu, jika gempa terasa makin kencang mulai merunduk atau melindungi diri di bawah meja. Ketika bangunan roboh juga diberitahu harus melakukan apa.

Kemampuan menghadapi gempa seperti ini bukan hasil yang didapat secara instan, melainkan masyarakat di sana rutin melakukan simulasi bencana. Sigit menceritakan paling tidak setiap enam bulan sekali pengurus apartemennya memberitahu bahwa akan akan simulasi bencana.

"Istilahnya bosai. Warga berkumpul, kemudian ada petugas pemadan kebakaran melatih atau mengingatkan kembali ketika ada bencana kebakaran seperti apa, gempa seperti apa," cerita Sigit.

Lalu, di setiap wilayah biasanya warga sudah diberitahu sekolah mana yang dijadikan titik evakuasi.

"Dengan latihan rutin, baik di lingkungan tempat tinggal, sekolah maupun tempat kerja diharapkan kesadaran dan kewaspadan meningkat. Kesadaran maksudnya lebih pada kesadaran individu menyelamatkan diri, tidak dipasrahkan tim penyelamat," kata Andreas.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya