Ramah Lingkungan dan Tak Bau, Batu Bata Ini Dibuat dari Urine Manusia

Batu bata yang terbuat dari urine ini diklaim sebagai produk yang ramah lingkungan untuk masa depan

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 05 Nov 2018, 11:00 WIB
Diterbitkan 05 Nov 2018, 11:00 WIB
Kencing
Ilmuwan buat batu bata dari urine manusia (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Peneliti dari Afrika Selatan mengklaim bahwa mereka berhasil membuat batu bata menggunakan urine manusia. Para ilmuwan menggunakan proses alami yang melibatkan koloni bakteri.

Mereka mengatakan, pembuatan batu bata dari urine tersebut suatu hari bisa membantu mengurangi emisi pemanasan global dengan penggunaan produktif produk limbah akhir.

Melansir New York Post pada Senin (5/11/2018), batu bata abu-abu yang dibuat dari urine ini diproduksi di laboratorium selama delapan hari. Beberapa bahan pembuatannya antara lain urine, kalsium, pasir, dan bakteri. Selain batu bata ini juga tidak berbau.

Batu bata tersebut dibuat menggunakan urea, sebuah bahan kimia yang ditemukan secara alami dalam air seni dan disintesis di seluruh dunia, yang digunakan dalam pembuatan pupuk.

"Kita benar-benar buang air kecil setiap hari dan menyiramnya melalui jaringan saluran pembuangan," kata Dosen Senior di Departemen Teknik Sipil Universitas Cape Town, Dyllon Randall.

"Kenapa tidak kita ambil saja dan membuat beberapa produk?" ujarnya.

Saksikan juga video menarik berikut ini:

 

Membutuhkan 20 Liter Air Seni

Ilustrasi toilet di pesawat (iStock)
Membutuhkan urine dalam jumlah banyak untuk satu batu bata (iStock)

Batu bata ini diciptakan melalui proses yang disebut dengan pengendapan karbonat yang disebabkan oleh mikroba. Proses ini mirip dengan proses yang menghasilkan terumbu karang.

Walaupun begitu, masih ada kendala dalam pembuatan batu bata urine secara massal. Untuk membuat satu batu bata saja, dibutuhkan sekitar 20 liter air seni yang dikumpulkan selama beberapa minggu dari orang dewasa.

"Jadi, saya mendapatkannya dari kamar mandi anak laki-laki di seberang laboratorium. Saya membuat pendaftaran kecil-kecilan dan semua pria di universitas berkontribusi dalam penelitian saya," ujar Suzanne Lambert, yang membuat konsep penelitian ini.

Saya benar-benar melihat komersialisasi di satu atau dua dekade mendatang, tetapi masih ada banyak pekerjaan laboratorium yang harus dilakukan," tambahnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya