Literasi Kesehatan dan Teknologi, Cara Cegah Kecanduan Gadget dan Gangguan Kesehatan Jiwa

Penggunaan gawai yang berlebihan dapat menjadi pencetus gangguan kesehatan jiwa.

oleh Arie Nugraha diperbarui 04 Nov 2019, 18:00 WIB
Diterbitkan 04 Nov 2019, 18:00 WIB
Liputan 6 default 5
Ilustraasi foto Liputan 6

 

Liputan6.com, Bandung Semua usia, baik anak-anak maupun remaja berpotensi mengalami gangguan kesehatan jiwa atau mental. Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jawa Barat mencatat, jumlah kelompok usia 19-45 tahun yang mengunjungi RSJ mencapai 25.069 orang pada Januari -September 2019. Dalam kurun waktu yang sama, jumlah kelompok usia 13-18 tahun yang mengunjungi RSj berjumlah 3.104 orang. Namun, banyak generasi muda di Jawa Barat khususnya, masih enggan memeriksakan kesehatan jiwa mereka secara berkala. 

Pemicu gangguan kesehatan jiwa yang paling dominan disebabkan oleh masalah perkawinan dan keluarga. Gangguan kesehatan jiwa juga disebabkan juga oleh faktor pekerjaan, kondisi ekonomi, penyakit fisik, hubungan interpersonal dan lingkungan. 

“Pemerintah Provinsi Jawa Barat terus berupaya mencegah dan menekan jumlah ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) dan ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan) dengan merintis Unit Crisis Center Pelayanan Kesehatan Jiwa. Itu respons terhadap kesehatan jiwa di masyarakat. Penanganan cepat tanggap (bagi ODGJ dan ODMK) sangat dibutuhkan,” kata Pj. Sekretaris Daerah Jawa Barat Daud Achmad di Kantor Gubernur Jawa Barat, Bandung, ditulis Senin (04/11/2019). 

Daud menuturkan gangguan jiwa muncul akibat faktor pencetus ketidakberdayaan, kehilangan pasangan, tekanan sosial-ekonomi hingga pekerjaan. Daud mengaku tengah berupaya mengajak masyarakat agar memerhatikan masalah kesehatan jiwa serta menghapus stigma negatif gangguan kesehatan jiwa.

 

 

Sekolah Tanpa Gawai

Siasat lain pemerintah yaitu menggagas program Sekolah Tanpa Gawai (Setangkai), sebut Daud. Program itu diluncurkan karena saat ini, penggunaan gawai yang berlebihan dapat menjadi pencetus gangguan kesehatan jiwa, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. 

“Di Jabar, kami juga banyak menerima pasien ODMK usia anak karena kecanduan gadget (gawai). Situasi tersebut menjadi masalah yang menjangkiti anak-anak kita,” ucap Daud. 

Program tersebut disambut baik oleh Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI Anung Sugihantono, untuk menangkal gangguan kesehatan jiwa di kalangan anak-anak maupun remaja. Menurut Anung, hal paling penting dalam pencegahan gangguan kesehatan jiwa adalah meningkatkan literasi kesehatan. 

Jika literasi kesehatan tinggi, generasi muda akan bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri untuk mendeteksi lebih dini kondisi kesehatan jiwanya. Alasannya yang paling mendasar dalam pencegahan kesehatan jiwa yaitu memahami kesehatan tersebut. 

“Kesehatan itu bukan diartikan bebas dari cacat bebas dari rasa sakit. Tapi, ada aspek psikososial, termasuk di dalamnya produktif dalam sosial, dan bersosialisasi. Para pemangku kebijakan mesti memerhatikan tingkat literasi teknologi, termasuk gawai, generasi muda. Pasalnya, teknologi bak pisau bermata dua. Jika digunakan dengan baik, teknologi akan penuh manfaat. Jika tidak, teknologi akan penuh mudarat,” sebut Anung.

Pola Komunikasi Keluarga

Contoh kasus di dunia pendidikan lanjut Anung, di beberapa sekolah anak tidak boleh membawa gawai. Tetapi guru memberikan tugas yang mendorong anak menggunakan gawai. 

Hal ini menjadi persoalan. Maka dari itu, seluruh elemen masyarakat harus memastikan bahwa generasi muda menggunakan gawai dengan bijak.

“Kita tidak boleh hanya melarang tanpa memberikan jalan keluar. Tapi, sebaiknya tidak boleh membiarkan tanpa membangun tanggungjawab. Keseimbangan inilah yang paling penting di ranah keluarga, komunitas, dan institusi,” jelas Anung.

Anung juga menyoroti pola komunikasi keluarga dan lingkungan dalam pencegahan gangguan kesehatan jiwa. Menurut dia, harus ada pola komunikasi baru yang dibangun dalam keluarga. Hal itu dilakukan karena channel komunikasi anak-anak maupun remaja sudah berubah dan dinamis.

“Pola komunikasi anak-anak sekarang tentu berbeda. Punya channel yang berbeda. Kalau dulu, kami, seusia saya, channel hanya orang tua dan teman sebaya. Sekarang dengan channel yang sifatnya media sosial, cara mengemukakannya berbeda. Ini yang harus diperhatikan,” ungkap Anung

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya