BPOM Minta Masyarakat Tak Beli Dexamethasone Tanpa Resep Dokter

BPOM meminta masyarakat tak membeli dexamethasone dan steroid lainnya tanpa resep dokter, termasuk lewat penjualan daring

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 21 Jun 2020, 09:00 WIB
Diterbitkan 21 Jun 2020, 09:00 WIB
Dexamethasone adalah obat yang mudah tersedia dan relatif murah. (Justin Tallis / AFP)
Dexamethasone adalah obat yang mudah tersedia dan relatif murah. (Justin Tallis / AFP)

Liputan6.com, Jakarta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia meminta masyarakat agar tidak sembarangan membeli obat dexamethasone (deksametason) tanpa resep dokter.

Pernyataan tersebut disampaikan BPOM terkait hasil penelitian awal dari Universitas Oxford, Inggris yang menemukan bahwa dexamethasone mampu menurunkan kematian pada pasien COVID-19 dengan gejala berat yang menggunakan ventilator atau bantuan oksigen.

Dalam siaran pers dalam laman resmi BPOM, dikutip Minggu (21/6/2020), mereka menyatakan bahwa dexamethasone adalah golongan steroid yang merupakan obat keras dan telah terdaftar di BPOM. Pembeliannya harus disertai resep dokter dan digunakan di bawah pengawasan dokter.

"Badan POM RI meminta kepada masyarakat agar tidak membeli obat deksametason dan steroid lainnya secara bebas tanpa resep dokter termasuk membeli melalui platform online," tulis BPOM.

"Untuk penjualan obat deksametasone dan steroid lainnya, termasuk melalui online tanpa ada resep dokter dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan juga Video Menarik Berikut Ini


Tetap Memantau dan Tindak Lanjuti Penelitian

Suntikan dan obat (iStock)
Ilustrasi steroid. (iStockphoto)

BPOM penggunaan obat tersebut tanpa indikasi medis dan tanpa resep dokter dalam jangka waktu panjang dapat mengakibatkan efek samping menurunnya daya tahan tubuh, meningkatkan tekanan darah, diabetes, moon face, masking effect, dan beberapa efek samping lainnya.

Mereka juga menegaskan bahwa obat tersebut tidak dapat digunakan untuk pencegahan COVID-19.

Terkait studi yang dilakukan oleh para peneliti di Inggris, BPOM menyatakan bahwa mereka terus memantau perkembangan studi tersebut.

Mereka juga menindaklanjuti hasil studi ini, serta informasi terkait penggunaannya untuk penanganan COVID-19 dengan berkomunikasi bersama profesi kesehatan terkait seperti World Health Organization serta badan otoritas obat di negara lain.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya