Catatan Sejarah Pandemi Influenza di Indonesia Sebelum COVID-19

Penulis buku “Yang Terlupakan Pandemi 1918 Influenza di Hindia Belanda” Arie Rukmantara menyebut bahwa COVID-19 bukan konspirasi.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 04 Agu 2020, 06:00 WIB
Diterbitkan 04 Agu 2020, 06:00 WIB
Tangsel Adakan Simulasi Penanganan Influenza
Tim Pasukan Gerak Cepat (PGC) melakukan sterilisasi sebuah mobil yang kedapatan positif terjangkit pandemi influenza saat simulasi penanganan Episenter Pandemi Influenza di Puspiptek Tangerang Selatan, Rabu (20/9). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta Penulis buku Yang Terlupakan Pandemi 1918 Influenza di Hindia Belanda Arie Rukmantara menyebut bahwa COVID-19 bukan konspirasi. Menurutnya, COVID-19 sebagai konspirasi adalah hal yang tidak mungkin.

“Sepanjang sejarah, sejak pandemi ditemukan pada tahun 1.500-an sampai sekarang belum ada satu orang atau satu organisasi yang konsisten ingin menyebarkan atau menyebabkan pandemi, satu organisasi pun tidak mungkin. Pandemi itu sporadis bisa di mana pun di dunia,” ujar Arie dalam konferensi pers BNPB, Senin (3/8/2020).

Ia menambahkan, wabah penyakit sudah terekam dalam buku-buku sejarah. Misal, wabah flu mematikan di Jawa yang ditulis   Prof. Dr. R. Slamet Iman Santoso, seorang pakar psikologi Indonesia.

Dalam memoar berjudul Warna-warni Pengalaman Hidup R. Slamet Iman Santoso diceritakan wabah pada 1918 yang membuat situasi menjadi panik. Bahkan, saking banyaknya permintaan kain kafan, pemilik toko sampai menutup tokonya dan dipaksa untuk buka.

Simak Video Berikut Ini:

Pandemi di Tana Toraja

Arie juga menceritakan tentang pandemi yang sempat terjadi di Tana Toraja. Menurut wawancara yang ia lakukan langsung dengan tetua adat setempat, di sana sempat terjadi pandemi.

Salah satu Tetua Adat Toraja Kun Masora (70) saat wawancara tersebut memberitahukan bahwa menurut ayahnya, kondisi saat itu seolah udara diracuni, tidak ada satu keluarga pun yang tidak kehilangan anggotanya.

Pemimpin Upacara Adat Toraja Tato Dena (71) menambahkan, bahwa warga sana mengenal istilah “raaba byang” atau daun berjatuhan karena korbannya banyak sekali. Bahkan yang mengantar jenazah pun meninggal.

“Saya wawancara langsung ke Tana Toraja, kita ketemu langsung dengan tetua adat yang menggambarkan bahwa di sana sudah ada pandemi dan  ini fakta, kami membuktikan sendiri ada tulang-tulang yang berserakan. Menurut kedua tetua adat itu, ini adalah orang-orang yang tidak sempat dikuburkan.”

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya