Tim Peneliti Rampungkan Uji Klinis Kandidat Imunomodulator Herbal untuk Pasien COVID-19

Tim peneliti dari berbagai lembaga di Indonesia tengah melakukan koleksi data hasil uji klinis kandidat imunomodulator herbal untuk pasien COVID-19.

oleh Dyah Puspita Wisnuwardani diperbarui 16 Agu 2020, 18:06 WIB
Diterbitkan 16 Agu 2020, 18:06 WIB
Jahe Merah
Jahe Merah (Pixabay/Photogrammer7)

Liputan6.com, Jakarta Tim peneliti dari berbagai lembaga di Indonesia tengah melakukan koleksi data hasil uji klinis kandidat imunomodulator herbal untuk pasien COVID-19. Para peneliti tersebut antara lain berasal dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan tim tenaga kesehatan RSDC Wisma Atlet Kemayoran.

Hasil uji klinis yang telah selesai diujikan pada 16 Agustus 2020 di RSDC Wisma Atlet Kemayoran itu nantinya akan dikirim ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Dua produk kandidat imunomodulator yang diuji klinis yakni Cordyceps militaris dan kombinasi ekstrak herbal yang terdiri dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale var Rubrum), daun meniran (Phyllanthus niruri), sambiloto (Andrographis paniculata), dan daun sembung (Blumea balsamifera).

"Kombinasi herbal tersebut sudah diformulasikan, memiliki data stabilitas dan ada prototipenya," jelas Koordinator Kegiatan Uji Klinis Kandidat Imunomodulator Herbal untuk Penanganan COVID-19 Masteria Yunovilsa Putra, PhD, dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.

 

Saksikan juga Video Menarik Berikut Ini

Melibatkan 90 Subyek Penelitian

Riset yang telah dimulai sejak 8 Juni lalu itu melibatkan 90 subyek penelitian dengan rentang usia 18-50 tahun yang diberi intervensi selama 14 hari. Kriteria subyek penelitian adalah pasien positif COVID-19 baru yang sudah dikonfirmasi melalui Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dan bergejala pneumonia ringan. Subyek tidak dalam kondisi hamil atau menderita penyakit lain seperti DBD, demam tifus, gangguan jantung, gangguan ginjal, maupun alergi terhadap produk yang diujikan.

Riset menggunakan sistem blinding acak dan tersamar ganda sehingga subyek maupun peneliti tidak mengetahui apakah yang diberikan pada subyek adalah salah satu dari produk yang diujikan atau plasebo.

"Metode uji klinis kandidat imunomudolator dilakukan secara acak terkontrol tersamar ganda dengan plasebo untuk menghindari terjadinya bias pada penelitian," jelas Masteria, mengutip keterangan rilis yang diterima Health-Liputan6.com.

Ada dua produk uji dan satu plasebo yang diberi secara acak dan merata pada 90 subyek uji yang dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama mendapat terapi standar COVID-19 dan IP1, kelompok dua mendapat terapi standar COVID-19 dan IP2, dan kelompok kontrol mendapat terapi standar COVID-19 dan plasebo.

Tujuan utama uji klinis adalah untuk melihat apakah waktu yang diperlukan untuk mencapai perbaikan gejala klinis non-spesifik menjadi lebih pendek durasinya.

"Uji klinis juga ditujukan untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai hasil RT-PCR negatif setelah adanya perbaikan gejala klinis," kata Masteria.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya