Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diminta untuk lebih memperkuat sosialisasi mengenai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Hal itu dinilai penting untuk dilakukan sebagai upaya untuk mencegah perkawinan anak hingga ke tingkat desa. Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa batas usia minimal untuk perkawinan bagi laki-laki dan perempuan saat ini adalah 19 tahun.
Baca Juga
Ferny, perwakilan Jaringan AKSI dalam konferensi pers virtual pada Kamis (11/2/2021) mengatakan bahwa sosialisasi mengenai batas usia pernikahan, khususnya di masa pandemi ini, memang menjadi suatu tantangan.
Advertisement
"Tantangannya adalah cara kita sosialisasi. Karena situasi pandemi ini kita mungkin bisa menggunakan media sosial, tetapi itu juga mungkin bagi orang-orang yang mendapatkan privelege seperti mudah dapat akses internet atau pun punya teknologi untuk membaca media-media terkait ini," kata Ferny.
"Namun bagaimana dengan anak-anak di daerah terluar, terdalam, yang tidak dapat mengakses ini. Tentunya mereka belum tahu ada aturan seperti ini," Ferny menambahkan.
Â
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Dispensasi Jangan Disalahgunakan
Sosialisasi yang dilakukan pun juga harus secara lengkap, termasuk mengenai dispensasi kawin yang ada di dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2019.
"Jangan sampai Perma yang mengatur tentang dispensasi ini disalahgunakan menjadi celah seseorang untuk menikah di usia anak," kata Ferny.
Dalam sebuah survei yang mereka lakukan selama pandemi, Ferny mengatakan bahwa sosialisasi UU tersebut masih kurang diterima di daerah-daerah.
"Dalam situasi pandemi ini tantangannya banyak, selain ekonomi yang terdampak, orangtua yang di-PHK, akhirnya anak putus sekolah, anak perempuan menjadi salah satu yang jadi korban di pandemi ini," ujarnya.
Ferny pun mengatakan bahwa sosialisasi untuk mencegah perkawinan anak bisa dilakukan dengan lebih menggaet atau menggandeng secara masif organisasi-organisasi, khususnya anak muda, untuk melawan perkawinan anak.
Â
Advertisement
Masalah Dispensasi Perkawinan
Terkait dispensasi perkawinan yang juga termuat dalam UU Nomor 16 Tahun 2019, Dian Kartika Sari dari International NGO Forum on Indonesian Development mengatakan bahwa di sana memang pengajuan dispensasi kawin dilakukan orang tua.
"Tetapi di ayat ketiga disebutkan bahwa kedua mempelai untuk ditanya dan dimintai persetujuannya," kata Dian dalam kesempatan yang sama. "Ini sudah berbeda dengan pasal 7 UU Nomor 1 tahun 1974 yang sama sekali tidak melibatkan anak."
"Dalam Perma Nomor 5 Tahun 2019 juga disebutkan bagaimana kewajiban hakim untuk memberi tahu risiko perkawinan yang mereka jalani. Orangtua juga diminta komitmen memastikan pendidikan terus berjalan dan lain sebagainya."
Nursyahbani Katjasungkana, Ketua Pengurus Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK mengatakan bahwa masalah dispensasi perkawinan pada anak adalah yang kompleks karena tak jarang juga menyangkut kebudayaan di suatu tempat.
"Tetapi membuat pilar-pilar di pedesaan, sehingga gerakan ini menjadi sustain, itu sangatlah penting sekali," kata Nursyahbani. Ia pun juga menambahkan bahwa suatu pernikahan haruslah didasarkan kesepakatan dua belah pihak.
"Kalau itu digali dengan mendalam oleh hakim, apakah anak itu benar-benar sepakat, tidak ada dendam, apalagi dijelaskan risiko kawin anak pada fungsi alat reproduksi maupun kehidupannya yang akan datang, perekonomian, dan generasi yang akan dilahirkan, saya kira mungkin bisa berubah, dan bisa jadi dasar pertimbangan tidak mengabulkan dispensasi kawin."