Liputan6.com, Jakarta Positivity rate nasional tinggi di atas 20 persen, menurut Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin, tidak berkaitan dengan kenaikan kasus COVID-19. Ini karena kasus COVID-19 menunjukkan tren penurunan dalam dua minggu terakhir.
"Apakah positivity rate ada kaitannya dengan peningkatan kasus COVID-19? Jawabannya, tidak. Kita lihat sejak dua minggu terakhir, data pasien COVID-19 baru di rumah sakit menurun," jelas Budi saat konferensi pers 'Penjelasan Menteri Kesehatan mengenai Positivity Rate COVID-19' pada Rabu, 17 Februari 2021.
Advertisement
Penurunan kasus COVID-19 nasional dipengaruhi puncak kasus pasca libur Natal 2020 dan Tahun Baru 2021 sudah terlampaui dan upaya pemerintah dalam Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) jilid 1 dan 2, yang dilanjut PPKM berbasis mikro.
"Ya, sudah terjadi tren penurunan pasien COVID-19 yang dirawat. Itu disebabkan, pertama memang sudah terjadi penurunan dan kalau kita analisis, puncak dampak kasus setelah Natal dan Tahun Baru sudah tercapai," terang Budi Gunadi.
"Kedua, ada dampak dari PPKM yang bisa mengurangi mobilitas masyarakat setelah Natal dan Tahun Baru."
Â
Â
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Penyebab Positivity Rate COVID-19 Tinggi
Menjawab isu tren positivity rate yang tinggi, Budi Gunadi paparkan tiga hipotesis yang memengaruhi kondisi tersebut. Pertama, jumlah orang yang diperiksa. Terlihat pola kenaikan angka positivity rate yang terus berulang saat liburan, termasuk Imlek.
"Data positivity rate-nya selalu naik pada saat liburan. Positivity rate adalah jumlah testing dengan perbandingan kasus. Nah, karena setiap hari libur jumlah testing-nya turun, sehingga positivity rate-nya naik," paparnya.
"Kebetulan empat hari terakhir ini liburannya panjang terkait Imlek, maka positivity rate-nya naik."
Kedua, Kemenkes mengamati data negatif COVID-19 yang masuk belum sepenuhnya lengkap. Dalam hal ini, data negatif belum langsung dikirim ke pusat.
"Sehingga data yang kami terima lebih banyak data yang positif, sedangkan negatif tidak dimasukkan. Sesudah kami cek ke beberapa rumah sakit dan laboratorium, mereka sulit mengakses sistem pelaporan data juga user interface atau cara memasukkan ke sistem aplikasi masih rumit," jelas Budi.
"Akibatnya, banyak lab yang memasukkan data yang positif. Data yang negatif tidak dimasukkan karena menurut mereka yang penting data positifnya saja dulu, agar yang positif segera ditangani."
Kendala sistem pelaporan data kini sudah diperbaiki Kemenkes. Harapannya, semua rumah sakit, fasilitas kesehatan, dan lab mudah memasukkan laporan.
Advertisement
Positivity Rate dan Jumlah Orang yang Diperiksa
Faktor ketiga yang memengaruhi positivity rate tinggi dari sisi jumlah orang yang diperiksa. Ada kemungkinan jumlah positif COVID-19 lebih banyak, sedangkan testing-nya kurang.
"Untuk mengecek hipotesa ini, kami akan meningkatkan jumlah pemeriksaan. Upaya ini sejalan dengan penerapan program PPKM dan menggunakan rapid test antigen, sehingga lebih banyak mendeteksi kasus positif," kata Budi Gunadi.
"Dengan demikian, kita juga akan tahu lebih cepat dan lebih banyak, apakah seseorang tertular virus Corona atau tidak. Makin luas cakupan pemeriksaan diharapkan positivity rate lebih menggambarkan keadaan yang sesungguhnya."
Sebagai upaya data COVID-19 yang masuk lengkap, Kemenkes akan meningkatkan komunikasi dengan lab PCR di seluruh Indonesia. Tujuannya, memastikan agar mereka disiplin memasukkan data yang lengkap dan ontime (tepat waktu).
"Jangan ditunda terlampau lama. Jadi, kita bisa melihat data positivity rate yang sebenarnya, sehingga bisa mengambil keputusan dan kebijakan yang tepat," imbuh Budi.
Infografis Gerakan 3T dan Jurus Jitu Landaikan Kasus Covid-19
Advertisement