Liputan6.com, Jakarta Vaksin COVID-19 AstraZeneca resmi memiliki izin penggunaan darurat (emergency use authorization/EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sesuai aturan, vaksin yang digunakan untuk program vaksinasi nasional tidak dapat digunakan untuk vaksinasi gotong royong.
Seperti disampaikan Kepala BPOM Dr. Ir. Penny K. Lukito, MCP., merek vaksin yang digunakan untuk vaksin gotong royong harus berbeda dengan vaksin untuk program vaksinasi nasional.
Baca Juga
“Sebagaimana peraturan yang ada bahwa vaksin yang diberikan dalam vaksinasi gotong royong harus berbeda brand-nya dengan vaksin yang digunakan untuk vaksinasi nasional,” ujar Penny dalam konferensi pers daring, Selasa (9/3/2021).
Advertisement
Jadi, lanjutnya, AstraZeneca tidak masuk ke dalam vaksin yang akan digunakan dalam program vaksin gotong royong. Sejauh ini, vaksin yang akan digunakan dalam vaksinasi gotong royong adalah vaksin Sinopharm, vaksin Novavax, dan Moderna.
“Ketiganya sedang berproses baik antar pemerintah dengan pihak produsennya maupun juga bertahap sudah melakukan registrasi bergulir dengan BPOM.”
Simak Video Berikut Ini
Program Vaksinasi Gotong Royong
Program vaksin gotong royong adalah program yang berawal dari wacana dan inisiatif kalangan pengusaha untuk mempercepat pelaksanaan program vaksinasi COVID-19.
Melihat munculnya wacana vaksin gotong royong ini, Pakar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dr. Syahrizal Syarif, MPH,Ph.D., mengungkapkan, wajar saja jika pada situasi seperti ini masyarakat ingin secepat-cepatnya divaksin.
“Pada prinsipnya saya tidak menentang. Harusnya skema vaksin mandiri atau gotong royong akan berdampak pada lebih cepatnya mencapai kekebalan kelompok. Jika tadinya target 15 bulan bisa jadi setahun. Bahkan kalau perlu bisa 8 bulan,” ungkapnya dalam keterangan pers Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Selasa (23/2/2021).
Ia menambahkan, skema vaksin gotong royong jadi upaya nyata kerja bersama atau gotong royong dari berbagai lapisan masyarakat dan pemangku kepentingan untuk segera mewujudkan kekebalan kelompok di Indonesia sehingga bebas pandemi COVID-19.
“Skema yang ada saat ini dinilai kurang cepat untuk bisa mencapai target herd immunity dengan cakupan vaksinasi 181,5 juta penduduk,” paparnya.
Saat ini, yang terpenting menurut Syahrizal adalah bagaimana cara agar Indonesia bisa mencapai kekebalan kelompok secepatnya dan mengurangi beban ekonomi pemerintah dalam menghadapi pandemi ini.
Lebih lanjut ia menjelaskan, skema yang paling masuk akal menurutnya adalah swasta bisa membeli vaksin COVID-19 sendiri dengan regulasi dan dilakukan persetujuan pemerintah.
“Tentu saja vaksin yang didatangkan ini sesuai dengan daftar vaksin yang disetujui pemerintah. Tidak tertutup kemungkinan bisa masuk vaksin di luar daftar tersebut namun tetap nanti harus ada regulasi yang mengaturnya,” jelasnya.
Advertisement