Liputan6.com, Jakarta Sejumlah organisasi profesi yang terdiri dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) serta Yayasan Kanker Indonesia dan Yayasan Jantung Indonesia (YJI) mendesak pemerintah untuk merevisi PP 109 2012 tentang rokok.
Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH., mengatakan keprihatinan akan kondisi perokok di Indonesia. Belum lagi kenaikan cukai rokok dianggap tidak mempengaruhi konsumsi rokok.
“Cukai rokok dinaikkan tapi kalau dibandingkan dengan UU No.39 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995, sampai dengan tahun 2020 kemarin konsumsi rokok di tingkat nasional itu masih naik dari 210 miliar batang ke 320 miliar batang artinya ini belum sama sekali belum punya efek,” katanya dalam konferensi pers, Minggu (12/12/2021).
Advertisement
Baca Juga
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia (YJI) Esti Nurjadin, S.H, M.Kn., mengatakan, rokok bukan hanya mempengaruhi beban ekonomi dan sosial di masyarakat tapi juga meningkatkan biaya kesehatan pemerinta.
“Sebagai silent killer dilaporkan bahwa penyakit jantung dan kardiovaskular berkontribusi sebesar 26,4% dari total kematian di Indonesia,” ujarnya.
Penelitian pun membuktikan hubungan antara merokok dengan penyakit jantung koroner. “Rokok merupakan faktor risiko terbesar pada kematian mendadak risiko penyakit jantung koroner, meningkat 2 - 4 kali pada perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok,” jelasnya.
Ironisnya, kata Esti, Indonesia merupakan negara keempat dengan konsumsi rokok terbesar di dunia yang secara jelas dapat merusak kesehatan dan menghambat produktivitas SDM Indonesia pada masa datang.
“Merokok harus dikendalikan mengingat prevalensi perokok pemula di Indonesia meningkat berdasarkan riskesdas 2018 yang menemukan bahwa terjadi peningkatan prevalensi perokok anak usia 10 sampai 18 tahun dari 7,2% menjadi 9,1% atau sekitar 7,8 juta. Ini mengancam generasi emas sebagai SDM berkualitas,” katanya.
Untuk itu, Esti memandang perlu adanya regulasi yang kuat untuk mengendalikan tembakau yang progresif. “Dengan ini kami berharap pemerintah dapat segera merevisi PP 109/2012 sebagai langkah konkrit pemerintah untuk melindungi masa depan Indonesia,” katanya.
Simak Video Berikut Ini:
Beban biaya penyakit tinggi
Ketua Yayasan Kanker Indonesia Prof. Dr. dr. Aru W. Sudoyo, SpPD-KHOM, turut menanggapi. Menurutnya, pengeluaran akan penyakit akibat rokok lebih besar ketimbang pemasukan cukai.
“Kami para profesional menilai kenaikan cukai rokok hanya keuntungan jangka pendek itu kemudian nanti akan tertutup bahkan akan terlampaui oleh kerugian-kerugian masa depan. Itu bisa terlihat dari banyaknya penderita pasien kanker. Jadi dengan revisi PP 109 itu bisa diturunkan faktor risiko,” katanya.
Ketua IAKMI Dr. Ede Surya Darmawan, S.KM, M.KM, menyampaikan, ada tiga isu tentang rokok yang selalu dibahas. Pertama, rokok dengan konsumsi rumah tanga.
“Ternyata konsumsi rumah tangga Indonesia itu secara umum setelah membeli makanan utama yaitu beras dan padi-padian gitu selanjutnya adalah rokok. Bukan untuk yang bermanfaat misalnya buku atau pulsa. Ini seperti lingkaran setan, orang tidak berhasil berhenti,” katanya.
Menurut Ede, beberapa alasan menjadi penyebab Indonesia sangat bergantung kepada industri rokok.
“Kuatnya lobi dari industri rokok lebih kuat. Kedua, petani rokok dianggap memegang peran besar padahal kebanyakan petani itu dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat,” katanya.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K), mengatakan, perilaku merokok di Indonesia dimulai sejak kanak-kanak bahkan sebelum remaja.
Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) menunjukkan, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun terus meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2019.
Padahal, pemerintah Indonesia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 menargetkan perokok anak harusnya turun menjadi 5,4 persen pada 2019.
“Merokok ini awal mula dari kecanduan-kecanduan yang lain sehingga dengan revisi PP 109 ini, kita ingin menurunkan perokok anak ini,” katanya.
Beberapa waktu yang lalu, bahkan menurut Piprim, sejumlah organisasi profesi bertemu dengan Menteri Kesehatan untuk menurunkan kejadian stunting. “Perilaku merokok ini bisa mengurangi anggaran belanja rumah tangga yang pada gilirannya akan mengurangi nutrisi bergizi pada anak-anak sehingga tidak heran bahwa beberapa penelitian perilaku merokok ini sangat berhubungan dengan kejadian stunting.”
“Jadi ini sebuah paradoks ya ketika kita ingin meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang itu bisa diawali dengan menhindari rokok sejak dini, justru anak sudah terpapar. Jadi kami sangat prihatin sekali dengan kejadian ini dan mendesak pemerintah untuk bisa menyelaraskan visi misi Kemenkes dalam menurunkan stunting,” pungkasnya.
Advertisement