Liputan6.com, Jakarta - Pelaku pemerkosaan belasan santri di Bandung, Jawa Barat Herry Wirawan dijatuhi vonis penjara seumur hidup pada 15 Februari 2022.
Herry adalah Pemimpin Pondok Pesantren Madani Boarding School, Bandung yang melakukan tindakan asusila pada para santriwati hingga hamil dan melahirkan.
Baca Juga
Awalnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut pria yang selalu mengenakan peci hitam itu untuk dihukum mati. Namun, keputusan hakim berakhir pada kurungan seumur hidup.
Advertisement
Terkait hukuman yang diterima Herry, timbul pertanyaan tentang kondisi kejiwaannya. Apakah vonis berat tersebut bisa memicu gangguan jiwa atau tidak?
Menjawab pertanyaan tersebut, kriminolog Haniva Hasna M.Krim memiliki pandangannya sendiri.
“Ketika dia melakukan pencabulan, dia tidak memikirkan kondisi jiwa sekian banyak korban. Lalu kenapa kita masih memikirkan kejiwaan pelaku yang mendapatkan tuntutan lebih rendah dari tuntutan awal?” kata Iva kepada Health Liputan6.com, Jumat (18/2/2022) melalui pesan teks.
Simak Video Berikut Ini
Melihat Sikap Herry
Sebelum mengikuti persidangan, Herry Wirawan terlihat banyak berdoa seperti disampaikan kuasa hukumnya pada awak media. Saat persidangan berlangsung pun ia terlihat selalu menunduk.
Terkait sikap ini, Iva menanggapi bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki hati nurani dan rasa bersalah. Namun, hal ini bukan alasan untuknya hengkang dari tanggung jawab.
“Setiap manusia memiliki hati nurani, dalam kondisi normal pasti tahu benar dan salah. Penyesalan sangat memungkinkan terjadi, tapi tanggung jawab atas perbuatannya harus tetap dihadapi,” kata Iva.
Advertisement
Berakibat Fatal pada Korban
Tindakan Herry membuat masyarakat geram termasuk Iva sendiri. Pasalnya, tindakan seksual yang ia lakukan berakibat fatal bagi korban tak hanya untuk saat ini tapi dalam jangka panjang.
“Korban 13 orang perempuan, 9 anak yang akan menanggung beban psikologis dan memiliki sejarah negatif seumur hidupnya akan wajar bila berkeinginan untuk menuntut hukuman lebih berat.”
“Bayangkan, pelaku masih bisa hidup nyaman di penjara, dibiayai oleh pemerintah, mungkin juga diupayakan kesembuhan secara kognitif dan perilaku. Tapi apakah korban juga bisa hidup layak seperti itu. Siapa yang menjamin kelangsungan hidup korban baik fisik, psikis maupun sosial?”
Akhirnya tidak adil untuk korban karena yang paling sering terjadi adalah ketika pelaku sudah ditindak, maka dianggap selesai semua permasalahannya. Padahal kelangsungan hidup korban juga masih panjang, tambah Iva.
“Bila pelaku terlindung oleh Hak Asasi Manusia (HAM), bagaimana dengan korban? Apakah hak-haknya di masa yang akan datang juga akan terpenuhi?” tutup Iva.
Infografis Herry Wirawan Terancam Hukuman Mati dan Kebiri Kimia
Advertisement