Liputan6.com, Jakarta Korean Central News Agency (KCNA) melaporkan, sebanyak 269.510 orang menderita demam diduga akibat terinfeksi COVID-19 per 17 Mei 2022. Jumlah ini terus bertambah menjadi 1.483.060 dengan jumlah kematian 56 jiwa.
Markas besar anti-virus di Korea Utara bahkan melaporkan kasus dugaan COVID-19 yang telah mendekati 2 juta dalam seminggu sejak negara itu mengakui kasus pertama.
Baca Juga
Markas besar juga melaporkan satu kematian tambahan menjadi 63, yang menurut para ahli sangat kecil dibandingkan dengan jumlah dugaan infeksi virus corona pada Rabu (18/5/2022).
Advertisement
Dalam menekan kasus, pemerintah Korea Utara memobilisasi kekuatan militer untuk mendistribusikan obat-obatan dan mengerahkan ribuan petugas kesehatan, serta untuk membantu melacak infeksi baru, Dilansir Aljazeera.
Para ahli di seluruh dunia memperkirakan, wabah ini bukan hanya mengakibatkan demam, mengingat kurangnya tes dan sumber daya untuk memantau dan merawat orang yang sakit. Hingga hari Selasa, 17 Mei 2022 setidaknya 663.910 orang dikarantina.
Pada saat yang sama, para ahli telah menyatakan keprihatinan tentang kemampuan Korea Utara untuk menangani krisis tanpa bantuan. Terutama karena penduduknya kemungkinan tidak divaksinasi, dan sistem perawatan kesehatan masyarakat kekurangan pasokan medis, tes, dan perawatan.
“Tanpa alat tes COVID-19, Korea Utara menggunakan pemeriksaan suhu tubuh untuk identifikasi infeksi. Tetapi dengan metode pemeriksaan yang sangat rendah dan tidak akurat, tidak mungkin menemukan pembawa virus tanpa gejala dan mengendalikan lonjakan virus,” kata Cheong Seong-Chang, seorang analis di Sejong Institute Korea Selatan, dikutip WebMD, Kamis (19/5/2022).
Selain kekurangan vaksin untuk 26 juta penduduknya, Korea Utara juga bergulat dengan kekurangan gizi dan kondisi kemiskinan lainnya serta kekurangan alat kesehatan masyarakat, termasuk obat antivirus atau unit perawatan intensif, yang menekan rawat inap dan kematian di negara lain.
Jumlah kematian di Korea Utara mungkin melonjak dalam beberapa minggu mendatang karena mereka yang mengalami gejala kemudian menyerah pada penyakit itu.
“Karena infeksi COVID-19 (yang diduga) Korea Utara meningkat secara eksplosif, jumlah kematiannya diperkirakan akan terus meningkat,” kata Cheong.
KCNA melaporkan, pemerintah telah mengerahkan tentara untuk meningkatkan pasokan obat-obatan di ibukota, Pyongyang--menyusul perintah Pemimpin Tertinggi Kim Jong Un.
Misi tim itu ditujukan untuk "meredakan krisis kesehatan masyarakat" di Pyongyang, katanya. Namun jenis obat yang diberikan kepada orang sakit tidak jelas.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Lockdown
Sejak Sabtu, 14 Mei 2022, pemimpin Korea Utara Kim Jong Un menyebut wabah itu sebagai "pergolakan besar" secara historis dan menyerukan pemerintah dan orang-orang untuk bekerja sama untuk menstabilkan negara.
Upaya tracing juga diintensifkan, dengan melibatkan sekitar 11.000 pejabat kesehatan, guru, dan mahasiswa kedokteran untuk memeriksa semua penduduk di seluruh negeri untuk menemukan dan merawat orang yang demam.
Saat itu KCNA melaporkan, lebih dari 1,3 juta orang telah terlibat dalam upaya untuk memeriksa dan merawat orang sakit. Mereka yang demam dan gejala abnormal lainnya dikarantina.
“Semua provinsi, kota, dan kabupaten di negara ini telah dikunci total, dan unit kerja, unit produksi, dan unit perumahan ditutup satu sama lain sejak pagi 12 Mei,” kata KCNA.
"Pemeriksaan yang ketat dan intensif terhadap orang-orang sedang dilakukan."
Sementara anggota Partai Buruh yang berkuasa mengunjungi apotek dan kantor manajemen obat-obatan untuk memeriksa pasokan obat, setelah Kim mengkritik distribusi obat-obatan yang tidak efektif.
“Mereka menyerukan untuk membuat aturan yang lebih ketat dalam menjaga dan menangani perbekalan kesehatan, dengan tetap menjaga prinsip mengutamakan permintaan dan kenyamanan masyarakat dalam perbekalan,” kata KCNA.
China dan Korea Selatan telah secara terbuka menawarkan untuk mengirim vaksin, obat-obatan dan tenaga kesehatan. Sayangnya, Korea Utara sejauh ini mengabaikan proposal tersebut di tengah hubungan yang dingin dengan Korea Selatan karena kebuntuan dalam negosiasi nuklir yang lebih besar antara Washington dan Pyongyang.
Padahal sebelumnya beberapa ahli mengira pujian Kim atas tanggapan pandemi China selama pertemuan virus pekan lalu menunjukkan bahwa Korea Utara akan lebih bersedia menerima bantuan dari sekutu utamanya.
Advertisement
WHO siap membantu
Para ahli mengatakan satu-satunya bantuan luar yang realistis adalah menawarkan persediaan vaksin yang terbatas untuk mengurangi kematian di antara kelompok berisiko tinggi. Diantaranya vaksin untuk orang tua dan orang-orang dengan masalah kesehatan yang sudah ada sebelumnya, karena sudah terlambat untuk menghentikan penyebaran virus secara luas di seluruh populasi Korea Utara.
Korea Utara sebelumnya menolak dosis vaksin dari program berbagi COVAX global karena persyaratan melacak distribusi.
“Dengan negara yang belum memulai vaksinasi COVID-19, ada risiko virus dapat menyebar dengan cepat di antara massa kecuali dibatasi dengan tindakan segera dan tepat,” ujar Dr Poonam Khetrapal Singh, direktur regional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Asia Tenggara, dalam sebuah pernyataan.
Ia mengatakan WHO siap memberikan dukungan teknis kepada Korea Utara untuk meningkatkan pengujian dan dengan obat-obatan esensial dan pasokan medis.
Amerika Serikat juga mengatakan prihatin dengan potensi dampak wabah pada warga Korea Utara, dan mendukung bantuan vaksin ke negara itu.
“Untuk tujuan ini, kami sangat mendukung dan mendorong upaya AS dan organisasi bantuan dan kesehatan internasional dalam upaya mencegah dan menahan penyebaran COVID-19 … dan untuk memberikan bentuk bantuan kemanusiaan lainnya kepada kelompok rentan di negara ini,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS.
Kekhawatiran PBB
Juru bicara Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Liz Throssell, pada Selasa (17/5), mengatakan pihaknya "sangat khawatir" dengan dampak hak asasi manusia dari wabah Corona COVID-19 yang melanda Korea Utara.
Tak hanya itu, juga termasuk kebijakan lockdown atau penghentian kegiatan dan penutupan sebagian wilayah, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Kamis (19/5/2022).
Berbicara di Jenewa, Throssell mengatakan bahwa wabah di Korea Utara "mungkin berdampak buruk pada situasi hak asasi manusia di negara itu."
Throssell mengatakan hal ini karena Korea Utara tidak memiliki "program vaksinasi apapun" dan "memiliki infrastruktur layanan kesehatan yang sangat terbatas untuk menghadapi krisis semacam ini."
Ia menambahkan bahwa langkah-langkah terbaru Korea Utara, termasuk isolasi dan pembatasan perjalanan "akan memiliki konsekuensi yang mengerikan bagi mereka yang bahkan sudah berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka."
Advertisement