Liputan6.com, Jakarta Majalah ilmiah Nature pada bulan Mei 2022 menyajikan artikel bahwa tuberkulosis (TB) sebenarnya dapat dicegah dan disembuhkan. Namun, tetap saja menimpa seperempat penduduk Bumi. Utamanya, karena kemiskinan.
Artikel ini juga menyampaikan data dari Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) bahwa di dunia ini tuberkulosis berjalan bersama-sama dengan kemiskinan.
Baca Juga
Di negara maju maka deteksi kasus yang cepat ternyata dapat menghambat penularan di masyarakat. Pengobatan yang baik yang mereka berikan akan menyembuhkjan sebagian besar kasus yang ada di sana.
Advertisement
Di sisi lain, di negara miskin dan juga berpenghasilan menengah dimana kerumunan orang akan mempermudah penularan serta pengobatan yang memadai tidak selalu tersedia maka tuberkulosis membunuh lebih dari satu juta orang setahunnya.
Di artikel ini ditampilkan grafik hubungan antara prevalensi tuberkulosis per 100.00 penduduk dan angka Gross Domestic Product (GDP) pada 10 negara berpenduduk terbanyak di dunia. Terbaik adalah Amerika Serikat dengan GDP USD 63.593 dan prevalensi TB di sana rendah sekali.
Disusul berturut-turut dengan prevalensi yang lebih tinggi pada Meksiko, Brazil, Rusia, Tiongkok, India, Bangladesh, Nigeria, Pakistan dan yang tertinggi adalah prevalensi di Indonesia. Negara kita tertulis dengan prevalensi sekitar 300 kasus TB/100.000 penduduk dan GDP USD 3.870.
Di sisi lain kita tahu bahwa delapan negara merupakan penyumbang kasus TB terbanyak di dunia, yaitu India (26%), Tiongkok (8.5%), Indonesia (8.4%), Filipina (6.0%), Pakistan (5.8%), Nigeria (4.6%), Bangladesh (3.6%) dan Afrika Selatan (3.3%).
Ini adalah berdasar jumlah total kasus yang mendudukkan kita di nomor tiga terbanyak di dunia. Sementara data di Nature berdasar pada jumlah kasus per 100.000 penduduk hanya pada 10 negara berpenduduk terbesar, dimana prevalensi kita ternyata paling tinggi.
Dengan target SDG untuk menghentikan epidemi tuberkulosis yahun 2030 dan juga target Peraturan Presiden No. 67 tahun 2021 dengan eliminasi tuberkulosis di Indonesia tahun 2030, maka jelas masih banyak sekali yang harus kita kerjakan, kita galakkan dan kita upayakan bersama secara maksimal.
Â
*Penulis adalah Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI / Guru Besar FKUI juga Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Mantan Kepala Balitbangkes