Belajar dari Tragedi Kanjuruhan Arema, Ajarkan Anak Pahami Menang Kalah Sejak Dini

Tragedi Kanjuruhan atau tragedi Arema menjadi sarana untuk mengajarkan anak arti menang dan kalah

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 03 Okt 2022, 11:09 WIB
Diterbitkan 03 Okt 2022, 10:47 WIB
Air Mata Keluarga Korban Tragedi Kerusuhan Stadion Kanjuruhan Malang
Orang-orang yang mencari anggota keluarganya memeriksa foto-foto korban kerusuhan Stadion Kanjuruhan yang disediakan oleh relawan untuk membantu mereka mengidentifikasi kerabat mereka di Malang, Jawa Timur, Minggu (2/10/2022). Warga yang kehilangan anggota keluarganya dalam tragedi kerusuhan tersebut diminta untuk melapor ke posko yang ada. (AP Photo/Dicky Bisinglasi)

Liputan6.com, Jakarta - Tragedi Kanjuruhan yang terjadi usai pertandingan Arema vs Persebaya pada Sabtu malam, 1 Oktober 2022, menjadi catatan hitam dunia sepak bola Indonesia.

Bagaimana tidak, peristiwa yang juga disebut tragedi Arema ini menelan hingga ratusan korban jiwa.

Peristiwa kelam di awal Oktober 2022 ini disebut berawal suporter Arema yang tak bisa menerima kekalahan dari lawan.

Terkait hal ini, psikolog dari 3 Generasi, Ayoe Sutomo, memberi tanggapan soal mengajarkan kalah menang pada anak terutama yang beranjak remaja.

"Sebenarnya kalau kita bicara soal menang dan kalah, idealnya memang dikenalkannya bukan pas masa remaja saja. Baiknya dikenalkan sedini mungkin dari umur sekitar TK begitu, 4 tahun, 5 tahun," ujar Ayoe saat dihubungi Health Liputan6.com pada Minggu (2/10/2022).

Di usia itu, anak-anak sudah bisa bermain kelompok dan bermain secara sosial. Maka dari itu. pengenalan soal kalah menang idealnya di lakukan di usia ini.

"Cara mengenalkannya, ketika anak kalah bantu validasi ‘kamu sedih ya, aku paham rasanya enggak enak’ apapun perasaan anak itu bantu divalidasi dan diterima," katanya.

"Kalau anak sudah merasa nyaman kita bantu untuk memberi pandangan-pandangan kita mengenai bagaimana memaknai lomba, fokus ke proses bukan ke hasil," Ayoe menambahkan.

Setelah itu, orangtua bisa membantu anak untuk merencanakan apa yang bisa dilakukan di kemudian hari agar menjadi lebih baik.

"Ini yang sebenarnya perlu diajarkan kepada anak ya, kalau remaja sudah agak lewat. Idealnya pada masa kanak-kanak hal ini sudah dilakukan dari orangtua kepada anaknya," ujar Ayoe.

 

Pada Remaja

Aksi Seribu Lilin untuk Korban Kerusuhan Kanjuruhan di GBK
Massa yang tergabung dalam Ultras Garuda Jakarta mengikuti aksi menyalakan lilin dan tabur bunga untuk korban kerusuhan Stadion Kanjuruhan Malang di depan Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Minggu (2/10/2022). Aksi tersebut sebagai aksi solidaritas antar suporter dan bentuk keprihatinan atas tragedi kerusuhan suporter sepak bola di Stadion Kanjuruhan Malang. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Orangtua juga bisa memberi pengertian bahwa dalam perlombaan itu memang ada kalah menang. Jika pun kalah, tidak apa-apa yang penting sudah melakukan yang terbaik.

Berbeda dengan anak, situasi sosial yang dialami di masa remaja sudah lebih kompleks, pergaulannya lebih luas, dan pengaturan situasi yang dihadapi pun lebih beragam.

"Sementara secara emosi, pengaruh dari hormon, pengaruh fungsi kerja otak memang belum terlalu matang dan masih sangat naik turun," kata Ayoe.

Cara kerja otak remaja dalam menentukan berbagai hal masih perlu diasah. Hormon juga mendukung remaja untuk mau mengambil hal-hal yang berisiko untuk mendapatkan penghargaan dari lingkungan sosial sekitar.

"Reward ini bisa macam-macam bentuknya, bisa pujian, bisa penerimaan dari teman-teman sebaya dan sebagainya," katanya.

Kompleksitas ini pada akhirnya memengaruhi remaja ketika berada dalam situasi sosial tertentu, contohnya dalam pertandingan sepak bola.

Terkait tragedi di Stadion Kanjuruhan, Ayoe melihat bahwa ini bukan lagi tentang menang atau kalah, tapi ada unsur ikut-ikutan.

Remaja Rentan Ikut-Ikutan

Tragedi Kanjuruhan
Kerusuhan terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang usai laga Arema FC Vs Persebaya Suarabaya. Sebanyak 127 orang tewas dalam tragedi tersebut. (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Ayoe juga mengatakan bahwa dalam situasi sosial tertentu, remaja cenderung ikut-ikutan.

"Ini bukan lagi tentang menang atau kalah, tapi lebih kepada ada ikut-ikutan di mana memang remaja kan memang konformitas," katanya.

Artinya, para remaja membutuhkan pengakuan dari teman-temannya, lebih dari pengakuan orangtua dan keluarga. Untuk mendapat pengakuan itu, mereka merasa penting untuk melakukan apa yang dilakukan teman-temannya.

"Kalau berbicara spesifik ke setting suporter bola kemarin, itu kayaknya enggak bisa lagi lepas dari psikologi massa," katanya.

"Ketika orang sudah berkumpul dengan kelompok tertentu yang memang mereka merasa ‘saya bagian dari kelompok ini’ maka mereka bisa melakukan hal yang sebetulnya tidak akan mereka lakukan ketika sendirian," Ayoe menambahkan.

Ini juga diperkuat dengan keberpihakan pada kelompok yang sama ditambah mengenakan atribut yang sama. Ini membuat seseorang berani melakukan berbagai hal yang jika sedang sendirian ia tak akan berani melakukannya.

"Inilah salah satu faktor pencetus kerusuhan yang kemudian lebih sulit untuk dikendalikan," pungkas Ayoe.

Kronologi Kejadian

Foto: Suasana Mencekam Kericuhan usai Laga Arema FC Vs Persebaya Surabaya Pada Laga Lanjutan BRI Liga 1 2022/2023
Polisi dan tentara pun akhirnya turun untuk mengamankan situasi. Kalah jumlah personil, mereka pun terlihat beberapa kali menembakkan gas air mata dalam kerusuhan suporter usai laga Arema Vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10/2022) malam. (Bola.com/Iwan Setiawan)

Menurut seorang saksi yang berhasil selamat, pertandingan awalnya berjalan aman hingga di penghujung pertandingan terjadilah kericuhan.

Ini diawali dengan seorang suporter Arema yang masuk ke lapangan untuk meluapkan kekesalan.

Aksi ini diikuti suporter lain yang kemudian dihadang oleh aparat dan terjadilah tindak kekerasan. Tak disangka, suporter lain pun ikut turun ke lapangan. Gas air mata pun ditembakkan untuk menghentikan para suporter.

Namun, hal ini membuat mereka panik dan membuat suasana semakin ricuh. Tak sedikit yang terinjak dan kesulitan bernapas saat berusaha melarikan diri ke luar stadion.

Dari kejadian ini, beberapa orang menyimpulkan bahwa memang kericuhan itu diawali dari rasa tak mau menerima kekalahan.

"Kalah hari ini, bisa menang esok hari. Mati hari ini, tak akan pernah hidup kembali," kata pengguna Twitter @Prast_Lampard.

Infografis 1 dari 4 Perempuan Mengalami Kekerasan Fisik atau Seksual. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis 1 dari 4 Perempuan Mengalami Kekerasan Fisik atau Seksual. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya