Liputan6.com, Jakarta Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI) Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa pihaknya sempat kebingungan soal munculnya gangguan ginjal akut misterius atau acute kidney injury (AKI).
“Jadi pada September kita bingung juga, ada acute kidney injury, naiknya pesat, menyerang anak-anak, sangat mematikan, tapi bukan disebabkan patogen. Tapi yang membuat kita terbuka adalah kasus di Gambia,” kata Budi dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat sore (21/10/2022).
Baca Juga
Pada 5 Oktober, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan rilis bahwa ada kasus ginjal akut di Gambia yang disebabkan oleh senyawa kimia yang terkandung pada obat sirup anak.
Advertisement
Melihat hal ini, pihaknya pun bergegas menghubungi pihak Gambia dan WHO untuk mencari tahu soal penyakit tersebut.
“Kita begitu tahu pada 5 Oktober ada kasus di Gambia, tim medis kita kontak ke mereka. Itu sebabnya kenapa kita menjadi lebih pasti.”
“Selain kontak Gambia, rilisnya kan dari WHO, kita juga kontak ke WHO soal pendapatnya pada kasus Gambia.”
Dari kontak tersebut Kemenkes mengetahui bahwa kasus serupa juga pernah terjadi di Bangladesh dan India. Dengan begitu, ia menyatakan bahwa kasus gangguan ginjal akut ini ada benang merahnya dengan kasus di Gambia.
“Jadi jawabannya, iya (ada benang merah). Sumber obatnya tidak sama tapi sumber senyawa kimianya sama, etilen glikol dan dietilen glikol.”
Penyebab Sudah Jauh Lebih Pasti
Dari komunikasi yang terjalin, Kementerian Kesehatan mulai menaruh curiga pada obat-obat sirup serupa. Berbagai penelitian pun dilakukan dan jawaban soal penyebab AKI semakin mengarah pada etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Kini, perkiraan itu semakin jelas karena zat yang sama ditemukan pada anak-anak yang mengidap gangguan ginjal akut.
“Apa sudah pasti (penyebabnya EG dan DEG)? Sekarang sudah jauh lebih pasti dibandingkan sebelumnya karena memang terbukti di anak-anak ada, jadi darah anak-anak terbukti mengandung senyawa ini,” ujar Budi.
Kemudian, pihaknya juga sudah mengambil biopsi dan mendapatkan hasil bahwa rusaknya ginjal memang berkaitan dengan senyawa tersebut.
Sebelumnya, serangkaian tes telah dilakukan oleh Kemenkes dan jajarannya. Dari hasil tes tersebut, salah satu hal yang dicurigai yakni COVID-19 ternyata tidak berkontribusi dalam gangguan ginjal akut. Begitu pula patogen lainnya yang dinyatakan tidak bisa disebut sebagai penyebab AKI.
Advertisement
EG dan DG Menjadi Kalsium Oksalat
Dari rilis WHO terkait kasus di Gambia, Kemenkes kemudian melakukan tes pada anak-anak yang terkena gangguan ginjal akut misterius di Indonesia. Tes yang disebut toksikologi menunjukkan bahwa senyawa itu memang ada di anak-anak tersebut.
“Nah kita tes dan ternyata pada anak-anak yang dirawat di RSCM, dari 11, 7 anak positif memiliki senyawa kimia tadi.”
Senyawa kimia ini, lanjutnya, jika masuk ke dalam tubuh kemudian melalui proses metabolisme maka akan berubah menjadi asam oksalat.
“Ini berbahaya, asam oksalat itu kalau masuk ke ginjal bisa menjadi kalsium oksalat. Kalsium oksalat ini merupakan kristal-kristal kecil yang tajam-tajam. Sehingga kalau ada kristal kecil di balita kita, ya rusak ginjalnya.”
Setelah melakukan pemeriksaan lebih lanjut, maka dikonfirmasi bahwa rusaknya ginjal itu diakibatkan kalsium oksalat.
Kasus AKI hingga 21 Oktober
Menkes juga mengatakan bahwa dari data yang dilaporkan sudah ada 241 kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal di Indonesia. Angka kematian pada kasus ini lebih dari setengahnya.
"Sampai sekarang sudah mengidentifikasi ada 241 kasus gangguan ginjal progresif atipikal di 22 provinsi," kata Budi.
"Dengan 133 kematian atau 55 persen dari kasus yang ada," lanjut Budi.
Budi menerangkan bahwa kasus gangguan ginjal akut pada anak sebenarnya tiap bulan memang ada sekitar 1-2 kasus per bulan. Namun, pada bulan Agustus 2022 menunjukkan tren kenaikan. Di bulan tersebut ada 36 anak yang dilaporkan mengalami gangguan ginjal akut.
Lalu, pada September kasus bertambah 76. Lalu di bulan ini sudah ada 110 lagi tambahan kasus gangguan ginjal akut.
Dari 241 kasus, penyakit ini paling banyak menyerang anak usia 1-5 tahun yakni 153 kasus.
"Kejadian ini paling banyak menyerang balita, di bawah lima tahun," kata Budi lagi.
Berikut rincian jumlah kasus berdasarkan umur:
- Di bawah 1 tahun: 26 kasus
- 1- 5 tahun: 153 kasus
- 6-10 tahun: 37 kasus
- 11-18 tahun: 25 kasus.
Advertisement