Pasangan dengan Thalasemia Minor, Berapa Besar Kemungkinan Menurunkan ke Anak?

Pasangan yang sama-sama memiliki Thalasemia Minor punya kemungkinan 25 persen memiliki anak dengan Thalasemia Mayor.

oleh Diviya Agatha diperbarui 06 Des 2022, 11:54 WIB
Diterbitkan 06 Des 2022, 11:38 WIB
ilustrasi pernikahan
ilustrasi pernikahan dan cincin/Photo by Jeremy Wong Weddings on Unsplash

Liputan6.com, Jakarta Pembahasan terkait Thalasemia Minor belakangan naik ke permukaan. Hal ini bermula saat muncul sebuah unggahan soal calon pengantin yang sama-sama memiliki Thalasemia Minor. Mereka baru mengetahui kondisi tersebut beberapa hari sebelum menikah.

Mengutip laman Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Selasa (6/12/2022), Thalasemia sendiri merupakan penyakit turunan akibat adanya kelainan sel darah merah yang dapat menyebabkan pasiennya melakukan transfusi darah seumur hidup.

Secara klinis, Thalasemia terbagi menjadi tiga jenis. Ketiganya adalah Thalasemia Minor (pembawa sifat), Thalasemia Intermedia, dan Thalasemia Mayor. Pada Thalasemia Mayor dan Intermedia, pasien perlu melakukan transfusi darah secara rutin.

Sedangkan pada Thalasemia Minor, pasien seringkali tidak mengetahui kondisinya lantaran memang tidak ada gejala tertentu yang muncul. Kebanyakan orang dengan Thalasemia Minor bisa hidup seperti biasa secara fisik dan mental tanpa membutuhkan transfusi darah.

Bila pasangan keduanya dengan Thalasemia Minor tetap memutuskan menikah, maka peluang mempunyai anak sehat sebesar 25 persen, 50 persen anak sebagai pembawa sifat dan 25 persen anaknya sebagai Thalassemia Mayor. Peluang ini terjadi pada setiap konsepsi/kehamilan, sehingga bisa saja dalam 1 keluarga semua anaknya merupakan pengidap thalassemia mayor atau semua anaknya tampak sehat seperti mengutip laman RS Sardjito. 

"Jika ternyata terdapat pasangan calon suami istri terdeteksi sama-sama pembawa sifat, mereka tetap mempunyai hak untuk menikah namun diberikan pemahaman kemungkinan mereka akan melahirkan anak dengan thalassemia mayor dengan beban biaya yang besar seumur hidup," tulis di laman resmi RS Sardjito. 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Memutus Mata Rantai Thalasemia

Ilustrasi Transfusi Darah Thalasemia
Ilustrasi Transfusi Darah Thalasemia (Via: richarddawkins.net)

Menurut Kemenkes, Thalasemia memang telah menjadi mata rantai penyakit di Indonesia karena merupakan turunan. Sehingga memutusnya hanya bisa dilakukan dengan mencegah pernikahan sesama pembawa sifat Thalasemia.

Dokter spesialis anak RSCM, Teny Tjitra Sari mengungkapkan bahwa pasien dengan Thalasemia Mayor membutuhkan transfusi darah rutin seumur hidup. Biasanya setiap empat minggu sekali.

"Pasien dengan Thalasemia Intermedia juga membutuhkan transfusi, tetapi tidak sesering Thalasemia Mayor. Sementara itu, pasien dengan Thalasemia Minor umumnya tidak menunjukkan gejala dan tidak membutuhkan transfusi,” kata Teny.

Gejala yang mungkin muncul pada Thalasemia meliputi pucat, kuning, perut nampak besar karena pembengkakan limpa dan hati, dan jika tidak diobati dengan baik maka bisa terjadi perubahan bentuk tulang muka. Serta, warna kulit yang menghitam.

Sehingga seseorang dianggap perlu mencurigai adanya Thalasemia jika menunjukkan adanya gejala-gejala seperti yang disebutkan di atas.


Kualitas Sel Darah Merah yang Tidak Baik

Fungsi Hemoglobin Dalam Darah
Ilustrasi Hemoglobin / Sumber: Pixabay

Pengidap Thalasemia diketahui memiliki kualitas sel darah merah yang tidak baik dan mudah pecah. Itulah yang menyebabkan terjadinya anemia kronik.

Oleh karenanya, transfusi darah rutin menjadi kewajiban yang harus dilakukan terutama bagi pasien Thalasemia Mayor.

Tak berhenti di sana, pasien Thalasemia Mayor dan Intermedia pun mempunyai zat besi berlebih dari transfusi sel darah merah dan akhirnya menyerap di saluran cerna. Padahal kemampuan tubuh untuk membuang zat besi terbatas.

Alhasil, akan ada kemungkinan terjadinya penumpukan zat besi dalam organ seperti hati, jantung, pankreas, dan hipofisis.

Zat besi itulah yang bersifat toksik dan dapat menyebabkan kegagalan organ. Umumnya, pasien Thalasemia meninggal dunia akibat kegagalan pada organ jantung.

Hal itulah yang menjadi penyebab mengapa pasien Thalasemia Mayor dan Intermedia juga wajib mendapatkan obat pengikat (kelasi) besi setiap harinya, selain melakukan transfusi.


Respons Warganet terkait Thalassemia

Talasemia
Mitos dan fakta talasemia. (Ilustrasi: Top News)

Sejak diskusi terkait Thalasemia muncul belakangan, tak sedikit warganet yang merespons. Beberapa diantaranya pun ikut menceritakan kondisinya maupun orang disekitarnya yang berkaitan dengan Thalasemia.

"Aku Thalasemia Minor dan memang udah diwanti-wanti sama dokter darahku dari aku umur 18 tahun supaya pas sebelum menikah calonnya disuruh cek darah dulu, karena akibatnya memang separah itu guys," tulis akun @ay***t.

"Asli aku udah nemu, anaknya kakak temenku, emang gak boleh hamil. Anaknya dua-duanya cowok, Thalasemia Mayor, transfusi darah terus, dan meninggal juga dua-duanya," tulis akun @he***il.

"Aku kerja di rs bagian lab, emang makin kesini pasien Thalasemia tuh makin banyak. Suka gak tega liat pasiennya yang kebanyakan anak-anak dan bayi," tulis akun @Da***y. 

Infografis Donor Darah Aman Saat Pandemi Corona. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Donor Darah Aman Saat Pandemi Corona. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya