IDI Minta RUU Kesehatan Omnibus Law Tidak Mencabut Semua UU Kedokteran

RUU Kesehatan Omnibus Law yang dibahas diharapkan tidak mencabut semua UU Kedokteran.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 28 Mar 2023, 15:30 WIB
Diterbitkan 28 Mar 2023, 15:30 WIB
Ketua Umum PB IDI Moh. Adib Khumaidi
Ketua Umum PB IDI Moh. Adib Khumaidi meminta RUU Kesehatan Omnibus Law tidak mencabut semua UU Kedokteran saat melakukan Public Hearing terkait penyusunan RUU Kesehatan di Gedung Kemenkes RI Jakarta pada Jumat, 17 Maret 2023. (Dok Kementerian Kesehatan RI)

Liputan6.com, Jakarta - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta agar pelaksanaan RUU Kesehatan Omnibus Law tidak langsung mencabut semua Undang-Undang (UU) Kedokteran. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Umum PB IDI Moh. Adib Khumaidi di hadapan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin. 

“Saya kira juga perlu untuk diperhatikan sehingga penggunaan mekanisme Omnibus Law tidak serta merta mencabut semua Undang-Undang (kedokteran),” terang Adib saat sesi ‘Public Hearing RUU Kesehatan Bersama Dinkes Seluruh Indonesia, IDI dan PDGI’ di Gedung Kemenkes RI Jakarta, ditulis Selasa (28/3/2023).

Adib menyebut beberapa UU Kedokteran yang bila dilihat dari RUU Kesehatan Omnibus Law dapat berakhir dicabut.

“Penggunaan mekanisme omnibus yang serta-merta mencabut beberapa undang-undang yang tidak disertai hasil evaluasi terhadap undang-undang itu sendiri, artinya ada pasal-pasal yang berkaitan untuk pencabutan Undang-Undang Praktik Kedokteran, pencabutan Undang-Undang Keperawatan, Undang-Undang Kebidanan,” lanjutnya. 

Urgensi UU Kedokteran Masih Dibutuhkan

Berkaitan dengan pencabutan UU di atas, sebelumnya IDI menyuarakan di DPR RI bahwa urgensi pelaksanaan UU Kedokteran masih dibutuhkan. Urgensi ini turut disuarakan pemerintah daerah Bengkulu dan Riau.

“Kami pernah diskusi dan dipanggil oleh Satuan Pelaksanaan Pengawasan Undang-Undang di DPR, yang mana pada kesempatan itu pun juga, kami sampaikan bahwa urgensi terkait dengan pelaksanaan Undang-Undang Kedokteran masih dibutuhkan,” papar Adib.

“Itu juga kemudian disosialisasikan (UU Kedokteran) ada dua wilayah, yakni Bengkulu dan Riau dengan jawaban yang sama.”

Ada UU yang Harus Tetap Dipertahankan

Hukum
Ilustrasi RUU Kesehatan Omnibus Law untuk perbaikan kesehatan bukan berarti mencabut semua UU Kedokteran. credit: unsplash.com/tingey injury law firm.

Di sisi lain, kehadiran RUU Kesehatan Omnibus Law bagi Moh. Adib Khumaidi memang baik untuk memperbaiki layanan kesehatan di Indonesia. Walau begitu, bukan berarti semua UU yang bersentuhan dengan kedokteran dapat dicabut.

“Kita tahu bahwa perubahan-perubahan yang memang kita hadapi ke depan, tentunya ada beberapa hal yang perlu kita sepakati,” jelasnya.

“Tapi sekali lagi, masih ada undang-undang yang layaknya spesialis yang harus tetap dipertahankan dalam kaitannya tugas-tugas yang ada di dalam profesi kesehatan, profesi kedokteran.”

UU yang Akan Dicabut Jika RUU Kesehatan Disahkan

Sebagaimana draf RUU Kesehatan, tertulis pada Pasal 474 soal UU mana saja yang akan dicabut dan tidak berlaku bila RUU Omnibus Law tersebut disahkan.

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

  1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3237)
  2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431)
  3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)
  4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072)
  5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5571)
  6. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607)
  7. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 307, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5612)
  8. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6236)
  9. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6325)

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Dokter Perlu Jaga Kemampuan Masing-masing

Ilustrasi dokter menangani gegar otak
Ilustrasi dokter perlu menjaga kemampuan dengan perpanjangan STR dan SIP tiap 5 tahun sekali. Photo by National Cancer Institute on Unsplash

Salah satu pembahasan ‘panas’ dalam RUU Kesehatan menyentil perizinan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) yang terbilang ribet. Polemik ini pun mencuat pertanyaan, kenapa STR dan SIP tidak berlaku untuk seumur hidup saja?

Seperti diketahui, STR dan SIP harus diperpanjang tiap 5 tahun sekali. Menurut Moh. Adib Khumaidi, perpanjangan STR dan SIP demi menjaga kompetensi dan kemampuan dokter.

“Kalau kita mengacu di luar negeri kepentingan STR dan SIP itu menjaga uji kompetensi . Saya perlu menjaga kemampuan saya sebagai dokter bedah, maka pada saat kita menjaga kompetensi di dalam pelayanan, patient safety (keamanan pasien) tadi perlu ada sekuensi,” imbuhnya.

“Apakah satu tahun, dua atau lima tahun. Kita cukup lama (perpanjangan 5 tahun sekali) sebenarnya dibandingkan negara lainnya. Malaysia satu tahun, ada sebagian besar Eropa dua tahun.”

Knowledge dan Attitude Harus Dijaga

Lebih lanjut, Adib mengatakan, proses perpanjangan STR dan SIP dokter di Indonesia tiap 5 tahun juga menyasar pengetahuan (knowledge) dan sikap (attitude) harus dijaga. Etik dokter pun harus tetap dijaaga.

“Kita 5 tahun sangat sudah sangat panjang dan tentunya proses penjagaan knowledge harus dijaga, attitude harus dijaga, etik juga. Ini termasuk dengan permasalahan etik dan hukum yang bisa dipengaruhi dalam resertifikasi (registrasi ulang SIP dan STR) lagi nantinya,” lanjutnya.

Di sisi lain, pada dasarnya keanggotaan IDI yang aktif ditegaskan Adib bukanlah memaksa. Hal ini sempat ada anggapan bahwa mengurus STR dan SIP butuh rekomendasi IDI, yang dinilai menjadi anggota IDI bersifat memaksa.

“Anggota yang mendaftar bukan memaksa untuk menjadi anggota. Dan sampai sekarang bisa kami katakan 204.000 dokter sudah bergabung dan jadi anggota IDI,” tutupnya.

Infografis Hindari Penularan Covid-19, Ayo Jaga Jarak! (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Hindari Penularan Covid-19, Ayo Jaga Jarak! (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya