Catatan Akhir Tahun: Gaduh Nyamuk Wolbachia Berujung Menkes Budi Gunadi Sadikin Disomasi

Somasi untuk Menkes Budi Gunadi Sadikin atas polemik penyebaran nyamuk Wolbachia.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 31 Des 2023, 18:57 WIB
Diterbitkan 30 Des 2023, 06:00 WIB
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mendapat somasi atas polemik penyebaran nyamuk Wolbachia. (Dok Kementerian Kesehatan RI)

Liputan6.com, Jakarta - Gelombang penolakan penyebaran nyamuk Wolbachia masih terus disuarakan kalangan masyarakat di sejumlah daerah. Pekan lalu, unjuk rasa dilakukan oleh warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti Nyamuk di depan Gedung DPRD Jawa Barat dan sebelumnya penolakan terjadi di Bali.

Puncak dari penolakan nyamuk Aedes aegypti berbakteri Wolbachia ini muncul somasi yang ditujukan untuk Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, terkait penghentian penyebaran nyamuk Wolbachia. Somasi diunggah di situs Investigasi.org pada 20 Desember 2023.

Menyikapi soal somasi Wolbachia, Budi Gunadi menjelaskan bahwa teknologi untuk memerangi kasus Demam Berdarah Dengue (DB) sudah teruji ilmiah. Pengujian sudah dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) dan diterapkan pula di negara-negara lain.

"Wolbachia ini secara ilmiah sudah terbukti menurunkan insiden dengue di Yogyakarta. Dan itu udah jalan 10 tahun," kata Budi Gunadi saat diwawancarai Health Liputan6.com di Gedung Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Jakarta pada Jumat, 22 Desember 2023.

"Teknologi juga di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah diterima sebagai salah satu metode untuk bisa mengurangi dengue. Sudah masuk jurnal-jurnal ilmiah," katanya.

Orang-orang yang Sama Menolak Wolbachia

Budi Gunadi juga tak heran dengan adanya penolakan terhadap penyebaran nyamuk ber-Wolbachia. Menurutnya, penolakan yang ada, sama seperti halnya saat hendak menjalankan program vaksinasi COVID-19 dulu.

Saat pandemi, banyak yang menolak vaksinasi COVID. Namun, pada akhirnya masyarakat mulai beranjak menyadari pentingnya vaksinasi untuk perlindungan terhadap virus SARS-CoV-2.

"Sama seperti vaksin, itu ada kelompok-kelompok yang menolak kan. Dan ini kalau saya lihat yang menolak Wolbachia itu adalah sama persis orang-orang yang sama, (mereka) yang menolak vaksin," kata Budi Gunadi Sadikin.

 

Percaya Wolbachia Bermanfaat buat Masyarakat

Di tengah suara sejumlah orang untuk menyetop penyebaran nyamuk Wolbachia, Menkes Budi Gunadi Sadikin percaya, bahwa teknologi ini dapat memberikan manfaat yang besar terhadap masyarakat.

Apalagi nyamuk Aedes aegypti yang kawin dengan jentik nyamuk Wolbachia justru tidak membawa virus dengue ketika mengisap manusia. Virus dengue ditekan sehingga manusia yang terkena gigitan nyamuk Wolbachia, tidak akan terpapar DBD.

“Saya kembalikan ke masyarakat saja, lebih percaya yang mana. Kalau orang yang menolak vaksin itu somasi saya juga. Kalau saya, saya tetap yakin bahwa vaksinasi COVID juga dulu kita ada disomasi vaksin,” imbuh Budi Gunadi.

“Kita percaya, ini (Wolbachia) bermanfaat buat masyarakat, ya kita tetap jalankan.”

Akankah Ada Penundaan Penyebaran Jentik Nyamuk Wolbachia?

Pertanyaan pun mencuat, jika terus terjadi penolakan, akankah Kemenkes menunda penyebaran jentik nyamuk Wolbachia?

Budi Gunadi menekankan, pihaknya berupaya memberikan sosialisasi manfaat Wolbachia kepada masyarakat. Persoalan penolakan juga diakuinya adalah sesuatu yang wajar di alam demokrasi.

“Yang akan kita lakukan adalah menjelaskan secara lebih saintifik ke masyarakat untuk memahami (bagaimana Wolbachia). Sama persis seperti dulu vaksinasi COVID, penolakannya banyak, disomasi, dibilang sindikasi internasional, di vaksin ada chip lah,” pungkasnya.

“Nah, ini kan kelompok yang sama (kalangan yang menolak), yang menyerang Wolbachia. Saya bilang, namanya juga alam demokrasi, ya terserah mereka. Saya rasa sih masyarakat harusnya sudah bisa lihat dengan lebih jernih.”

Terkait somasi, pernyataannya berjudul Somasi Menteri Kesehatan tentang Nyamuk Wolbachia ini dilayangkan kepada Menkes Budi Gunadi Sadikin tanggal 19 Desember 2023. Disebutkan bahwa somasi tersebut telah ditandatangani lebih dari 100 orang.

Isi surat somasi perihal "Permohonan Upaya Keberatan Administratif terhadap tindakan menyebarluaskan agen biologi penyebab penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB dan Wabah (Nyamuk Wolbachia)."

Para pemohon somasi meminta Menkes Budi Gunadi Sadikin untuk segera mencabut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1341/2022 dan menghentikan (sementara) segala tindakan menyebarluaskan agen biologi penyebab penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB dan Wabah, khususnya Nyamuk yang dimodifikasi dengan bakteri Wolbachia.

Menanggapi pernyataan Menkes di atas, redaksi Liputan6.com mendapat email keberatan terkait pemberitaan Nyamuk Wolbachia dan vaksin Covid-19.

Dalam email atas nama Ted Hilbert dan para pemohon somasi tertanggal 30 Desember 2023, "Saya dan tim tidak pernah mengklaim bahwa ada chip dalam vaksin atau omong kosong seperti itu, kami bertindak berdasarkan data, fakta ilmiah dan hukum. Saya bahkan melawan orang-orang yang menyebarkan hoax seperti itu secara publik. Kami juga tidak menyatakan bahwa Nyamuk Wolbachia adalah "bionik", rekayasa genetika atau omong kosong seperti itu. Yang kami menyatakan ada dalam surat somasi (kepada Menkes-red), yang jelas diketahui oleh Liputan6 karena sumber investigasi.org disebutkan dalam artikel."

Sementara somasi kepada Menkes soal Nyamuk Wolbachia lengkapnya ada dalam link ini.

Wolbachia Bukan Nyamuk Bionik

Nyamuk - Vania
Ilustrasi Wolbachia bukanlah nyamuk bionik atau rekayasa genetika. /https://unsplash.com/Syed Ali

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes RI Imran Pambudi menegaskan, Wolbachia bukanlah nyamuk bionik atau rekayasa genetika. 

“Seolah-olah nyamuknya baru kan, nyamuknya bionik gitu  Padahal enggak, kalau nyamuk ber-Wolbachia adalah nyamuk biasa, bukan nyamuk bionik,” papar Imran di kawasan Kuningan, Jakarta beberapa waktu silam.

Penerapan Wolbachia tidak lepas demi menekan kasus DBD di Indonesia. Sebab, selama tiga tahun terakhir atau sejak tahun 2020, kejadian infeksi DBD dapat berbahaya. Ada yang tanpa gejala sampai gejala berat  

“Kalau gejala berat itu namanya Dengue Shock Syndrome, sampai benar-benar meninggal. Nah ternyata dari epidemiologi, kasus infeksi dengue itu 50 persen tanpa gejala  Nah ini yang jadi masalah, kenapa?” jelas Imran.

“Karena di dalam tubuhnya sudah ada virus dengue. Dia tidak sakit, terus ada nyamuk, nyamuknya hinggap ke orang yang ada infeksinya  Itu dia bawa darahnya kan, Kemudian hinggap lagi ke orang lain. Orang lain bisa saja tertular dan sakit, bisa ada gejala.”

Upayakan Turunkan Jumlah Kasus DBD

Melihat berbahayanya virus dengue, Indonesia perlu teknologi baru untuk menekan penyebaran virus dengue, salah satunya dengan metode Wolbachia. 

“Nah ini nanti implikasinya, kenapa kita perlu adanya teknologi-teknologi baru. Tahun 2023 ini kita bisa menurunkan jumlah kasus maupun kematian itu separuhnya ya. Kalau dari kita di sini tahun 2022, kasusnya itu kan 143.000,” ucap Imran.

“Tahun ini sampai 4 Desember 2023 itu sekitar 85.900. Kemudian kematiannya tahun lalu ada 1.236 kematian  Tahun ini, kita bisa menurunkan 653. Ini ada berbagai banyak sebabnya  Tapi saya lihat adalah kita bisa mengindikasi sejauh. Jadi kita tahu setiap 5 tahun kita akan ada spike, ada hubungannya dengan El Nino gitu.”

Pada tahun 2023 juga terjadi El Nino. Kemenkes gerak cepat menyampaikan informasi kepada semua Dinas Kesehatan di daerah.

“Sejak awal, saya begitu tahu dapat info dari teman-teman BMKG , bahwa tahun ini El Nino, saya minta tim saya untuk bersurat kepada semua Dinas Kesehatan se-kabupaten-kota untuk mereka melakukan indikasi-indikasi terhadap DBD,” sambung Imran.

“Mereka sudah bersiap, sudah melakukan kampanye segala macam. Ya, Alhamdulillah hasilnya itu cukup bagus ya. Kita bisa menurunkan sampai separuhnya.”

Kekhawatiran Berlebihan Terhadap Inovasi Wolbachia

Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo menyayangkan munculnya gelombang protes yang semata-mata didasari kekhawatiran berlebihan terhadap niat baik pemerintah, yakni penerapan inovasi teknologi Wolbachia sebagai upaya menghentikan penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia.

Jika pro dan kontra terhadap kebijakan Wolbachia terus berlanjut, maka pada gilirannya masyarakatlah yang menjadi korban. Masyarakat resah, khawatir bahkan ketakutan akibat informasi yang simpang siur dan sepotong-sepotong menyangkut Wolbachia.

"Harus diakui, belakangan ini informasi yang diterima masyarakat menyangkut Wolbachia simpang siur. Banyak hoaks tentang Wolbachia yang bermunculan di ruang-ruang publik sehingga masyarakat, ya jadi ketakutan,”  kata Handoyo yang juga politisi PDI Perjuangan dalam keterangan tertulis, Senin (20/11/2023).

“Apalagi misalnya, ada yang mendengungkan kalau Wolbachia adalah jentik nyamuk yang sengaja diimpor untuk merusak anak bangsa ini. Nah, pendapat ini sebenarnya kan konyol. Tapi informasi sepotong tanpa didukung fakta dan data seperti ini tetap bisa membuat masyarakat risau dan ketakutan.”

Handoyo tidak menampik jika pihak yang menolak Wolbachia, termasuk protes dari seorang mantan menteri kesehatan, maksudnya sebenarnya baik-baik saja. Dikatakan, semua berkomentar karena ingin melindungi kesehatan masyarakat.

Hanya saja, karena informasi yang didengungkan tidak utuh dan cenderung menyerang kebijakan pemerintah, akhirnya masyarakat yang jadi bingung.

"Saya meyakini, niat Pemerintah menerapkan inovasi teknologi modern seperti Wolbachia ini sangat mulia. Pemerintah ingin mengurangi penyebaran penyakit DBD. Tapi karena strategi penyebaran informasi dan edukasi tidak utuh, ya seperti ini jadinya, masyarakat jadi bingung,” lanjutnya.

“Misalnya ya, orangtua saya sendiri sempat beberapa kali menanyakan kepada saya, apa betul informasi yang dikatakan para pemrotes penerapan Wolbachia itu?

Sikapi dengan Asas Kehati-hatian

Pemerintah diminta menyikapi kondisi dengan asas kehati-hatian, terutama saat membuat pernyataan, khususnya lewat media sosial.

"Kalau kita lihat penerapan Wolbachia untuk memberantas DBD sudah sudah diberlakukan di banyak negara. Indonesia juga sudah melakukan langkah penelitian. Namun demikian, sekali lagi, Pemerintah juga harus menggunakan asas kehati-hatian,” pesannya.

“Artinya asas kehati-hatian dan kewaspadaan terhadap dampak dampak yang tidak diinginkan harus kita meminimalkan.” 

Handoyo menyarankan untuk meredakan pro dan kontra Wolbachia, para pihak duduk bersama. Diingatkan, jangan sampai kegundahan semakin meluas. 

"Semestinya, penerapan program ini (Wolbachia) bisa diterima masyarakat dan tidak memicu kekhawatiran yang berlebih akibat komunikasi kurang optimal. Sedangkan, pihak- pihak di luar Pemerintah hendaknya memberikan komunikasi berdasarkan data keilmuan biar memberikan pencerahan kepada masyarakat,” sarannya.

“Artinya, siapapun mengeluarkan statement harus berasaskan kehati-hatian agar tidak asal komentar sehingga tidak berimplikasi luas kepada keresahan masyarakat. Pokoknya, harus hati-hati menyebarkan info yang bisa menimbulkan keresahan di masyarakat.”

Infografis Ragam Tanggapan Pelepasan Nyamuk Wolbachia Tekan Kasus DBD. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis Ragam Tanggapan Pelepasan Nyamuk Wolbachia Tekan Kasus DBD. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya