Liputan6.com, Jakarta Kajian Kadar Timbal Darah (KTD) pada anak-anak di Pulau Jawa menunjukkan hasil yang sangat memprihatinkan. Temuan terbaru, hampir 90 persen anak memiliki KTD melebihi batas rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
Dari prevalensi kontaminasi timbal di atas, 19 anak (3 persen) di antaranya, membutuhkan pemberian terapi.
Baca Juga
Arumi Bachsin Beri Pesan Menyentuh untuk Khofifah dan Emil Dardak di Pilgub Jatim 2024, Netizen Ikut Berkomentar
Pramono Anung-Rano Karno Deklarasi Kemenangan 1 Putaran, Raih 50 Persen Plus 1 Suara
Hasil Quick Count Walikota dan Wakil Walikota Bandung di Pilkada 2024, Ini yang Bikin Farhan-Erwin Unggul
Hasil kajian ini dilakukan oleh Occupational and Environmental Health Research Center (OEHRC) IMERI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) bekerja sama dengan Yayasan Pure Earth (PE) Indonesia.
Advertisement
Kajian dilakukan pada periode Mei – Agustus 2023. Kajian ini dilakukan pada anak usia 12 - 59 bulan, yang mana mendapatkan hasil bahwa dari anak yang memiliki KTD lebih dari 20 ug/dL, 34 persen di antaranya mengalami anemia.
Keterlambatan Tumbuh Kembang
Anak dengan KTD lebih dari 20 ug/dL yang disertai dengan anemia, 14 persen di antaranya juga mengalami keterlambatan tumbuh kembang. Sehingga anak yang memiliki KTD lebih dari 20 ug/dL dengan anemia lebih berisiko 4 kali lipat mengalami keterlambatan tumbuh kembang.
Guru Besar Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI, Muchtaruddin Mansyur mengatakan, KTD pada anak yang didapatkan pada penelitian ini merupakan suatu keadaan yang mendesak untuk ditangani.
"Keterlambatan dalam penanganan akan memengaruhi kualitas generasi mendatang akibat keterlambatan tumbuh kembang anak," kata Muchtaruddin dalam sesi "Media Gathering Pencegahan Dampak Kesehatan Pajanan Timbal Lingkungan" pada Rabu, 10 Januari 2024.Â
Risiko Penyakit Jantung dan Penyakit Kronis Lain
Muchtaruddin Mansyur menambahkan risiko kesehatan lain bagi anak-anak yang terpapar timbal melebihi ambang batas WHO. Terdapat risiko penyakit jantung dan penyakit kronis lain.
"Melonjaknya penyakit jantung dan pembuluh darah serta penyakit kronis lainnya. Penguatan kapasitas sektor kesehatan untuk mengenal dan mencegah pajanan timbal lingkungan serta dampak kesehatannya harus menjadi prioritas," tambahnya.
Advertisement
Kategori Logam Berbahaya dan Beracun
Timbal termasuk dalam kategori logam berbahaya dan beracun. Dari sepuluh bahan kimia yang menjadi perhatian utama kesehatan masyarakat menurut WHO, timbal dan merkuri adalah dua neurotoksin paling berbahaya.
Paparan timbal mengakibatkan cacat lahir, kerusakan otak, kardiovaskular, penyakit ginjal, dan lainnya.
Timbal dapat ditemui di alam dan digunakan dalam berbagai jenis produk di sekitar kita. Banyaknya pekerjaan seperti daur ulang baterai-asam bertimbal secara informal di lingkungan rumah tangga maupun kegiatan sehari-hari yang terkait timbel dapat menyumbang pencemaran timbal pada lingkungan.
Rekomendasi Kadar Timbal WHO
Tim kajian mencatat, pencemaran timbal terjadi pada tanah, air, udara yang menyebabkan dampak buruk pada kesehatan anak dan dewasa.
WHO merekomendasikan Kadar Timbel Darah (KTD) 5 µg/dL sebagai penanda sumber pajanan lingkungan yang perlu diwaspadai sehingga disarankan agar KTD tidak lebih dari itu.
Sementara 45 µg/dL merupakan batas KTD untuk pertimbangan pemberian terapi.
Kontaminasi Timbal dari Lingkungan Sekitar
Direktur Yayasan Pure Earth Indonesia, Budi Susilorini menyampaikan, timbal sangat berbahaya, khususnya bagi anak-anak.
"Kita dapat terpajan dari lingkungan rumah kita. Kontaminasi timbal di lingkungan dan dampaknya pada kesehatan perlu menjadi dorongan bagi kita untuk segera melakukan tindakan penanganan dan pencegahan," ujarnya.
"Ketersediaan data yang menggambarkan kondisi lapangan diperlukan sebagai bahan diskusi lintas sektoral dan melibatkan para pemangku kepentingan terkait untuk memformulasikan strategi dan intervensi yang tepat."
Budi berharap hasil kajian Occupational and Environmental Health Research Center (OEHRC) IMERI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), bekerja sama dengan Yayasan Pure Earth (PE) Indonesia ini bisa masuk dalam surveilans nasional.
"Ke depan, kami berharap studi serupa dapat berkembang menjadi program surveilans nasional," harapnya.
Advertisement