Angka Perceraian di Kabupaten Mukomuko Didominasi Pasangan Pernikahan Dini

Angka perceraian pasangan usia anak ini menjadi persoalan dalam program pembangunan kependudukan di wilayah tersebut.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 01 Mar 2024, 09:22 WIB
Diterbitkan 01 Mar 2024, 09:22 WIB
Angka Perceraian di Kabupaten Mukomuko Didominasi Pasangan Pernikahan Dini
Angka Perceraian di Kabupaten Mukomuko Didominasi Pasangan Pernikahan Dini/credit: Freepik.com.

Liputan6.com, Jakarta Angka pernikahan usia anak terbilang tinggi di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu. Yang lebih memprihatinkan, angka perceraian di kabupaten tersebut didominasi oleh pasangan yang menikah dini.  

Data ini berdasar pada hasil review Kantor Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Mukomuko. Dan disampaikan langsung oleh Bupati Mukomuko, Sapuan. Tepatnya saat menerima kunjungan kerja Pelaksana tugas (Plt) Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Bengkulu, M. Iqbal Apriansyah, di Rumah Dinas Bupati Mukomuko, Senin, 26 Februari 2024.

Angka perceraian pasangan usia anak ini menjadi persoalan dalam program pembangunan kependudukan di wilayah tersebut.

Guna mengatasi hal ini, pemerintah Kabupaten Mukomuko segera membuat kesepakatan bersama Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dan Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Mukomuko dalam meminimalisasi pernikahan dan perceraian usia anak.

“Langkah ini sejalan dengan upaya pemerintah menekan kasus stunting yang disebabkan oleh pernikahan usia anak,” kata Sapuan dalam keterangan pers dikutip, Kamis (29/2/2024).

Sapuan menambahkan, dalam pembangunan kependudukan dan penurunan stunting, perlu langkah edukasi untuk menumbuhkan perilaku sehat dalam masyarakat. Pasalnya, perubahan perilaku merupakan kunci utama keberhasilan program pembangunan kualitas penduduk.

Gunakan Bahasa Informal Saat Edukasi Cegah Pernikahan Dini

Sapuan berpendapat, edukasi dan sosialisasi yang diberikan petugas perlu menggunakan bahasa informal. Ia menilai, bahasa informal lebih efektif dalam kegiatan sosialisasi berbagai program kepada masyarakat.

Termasuk program nasional pembangunan keluarga, kependudukan, keluarga berencana (bangga kencana) dan percepatan penurunan stunting.

“Lakukan sosialisasi dengan menggunakan bahasa informal agar mudah dipahami dan dimengerti oleh berbagai lapisan masyarakat," kata Sapuan.

Meski begitu, ia mengingatkan bahwa bahasa formal tidak harus ditinggalkan melainkan diperkuat dengan bahasa informal. Baik itu dilakukan oleh pemerintah, PKK, bahkan pada tenaga Penyuluh Lapangan KB (PLKB/PKB).

Penggunaan Bahasa Lokal Informal Takkan Membuat Program Gagal

Sapuan yakin, dengan menggunakan bahasa informal seperti bahasa lokal atau bahasa daerah setempat, pesan edukasi akan tersampaikan dengan baik.

Penggunaan bahasa lokal juga takkan menjadikan program, misalnya program KB jadi gagal. Program KB juga dapat berhasil karena generasi muda tak terlalu tertarik untuk memiliki banyak anak.

“Generasi muda saat ini tidak tertarik lagi untuk memiliki anak dengan jumlah banyak. Yang mereka tanamkan bagaimana keluarga itu sehat dan berkualitas untuk mengisi pembangunan di masa datang," papar Sapuan.

Sampaikan Dampak Negatif

Guna mencegah pernikahan dini hingga kehamilan yang tak direncanakan, masyarakat perlu diedukasi tentang dampak negatifnya, sambung Sapuan.

“Sampaikan kepada masyarakat, apa dampak negatifnya jika tidak merencanakan dan mengatur jarak kehamilan dan melahirkan.”

“KB itu tidak hanya bermanfaat dalam aspek ekonomi, akan tetapi lebih pada aspek kesehatan masyarakat. Jumlah anak boleh lebih dari dua, tetapi harus berencana, sehat dan berkualitas," pungkasnya.

Infografis Journal_10 Provinsi dengan jumlah perceraian tertinggi di Indonesia pada 2021
Infografis Journal_10 Provinsi dengan jumlah perceraian tertinggi di Indonesia pada 2021 (Liputan6.com/Abdillah).
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya