Liputan6.com, Jakarta Di era media sosial seperti saat ini ada banyak hal yang orang perlihatkan di media sosial. Mulai dari punya rumah di kawasan elite, jenjang karier yang terus naik, terlihat liburan terus dalam dan luar negeri.
Namun, bila melihat sesuatu berdasarkan standar ukur kebahagiaan orang lain hal itu malah memunculkan tekanan dalam diri. Alhasil malah menghambat kebahagiaan diri sendiri.
Baca Juga
"Misalnya usia segini mestinya sudah menikah, usia sekian mestinya sudah bekerja. Kemudian kalau sudah menikah, mestinya sudah hamil, begitu. Jadi banyak sekali standar-standar sosial yang menjadi pressure atau tekanan, itu akan menghambat orang menjadi bahagia," kata dokter spesialis kedokteran jiwa dari RSUD Tarakan Jakarta, Zulvia Oktanida Syarif.
Advertisement
Penting untuk diketahui bahwa setiap orang punya ukuran kebahagiaan yang berbeda-beda. Perbedaan itu lantaran manusia adalah sosok yang punya keunikan sendiri-sendiri termasuk punya kelebihan dan kekurangan.
"Permasalahan muncul ketika kita menghadapi hal-hal yang di luar ekspektasi tertentu. Untuk merasa bahagia, seseorang mesti belajar untuk menerima kalau dirinya unik sehingga bisa melihat sisi positifnya, tidak terpaku pada sisi negatifnya saja," kata dokter spesialis kedokteran jiwa konsultan, Yenny Sinambela di kesempan yang saa di Jakarta.
"Permasalahan muncul ketika kita menghadapi hal-hal yang di luar ekspektasi tertentu. Untuk merasa bahagia, seseorang mesti belajar untuk menerima kalau dirinya unik sehingga bisa melihat sisi positifnya, tidak terpaku pada sisi negatifnya saja," kata Yenny mengutip Antara.
Â
Ukuran Kebahagiaan Tak Selalu Terkait Materi
Di era internet seperti sekarang, sangat mudah untuk memberikan ekspektasi-ekspektasi tertentu sebagai standar kebahagiaan, sehingga banyak sekali penghambat-penghambat yang membuat seseorang merasa tidak bahagia.
Misalnya, flexing atau aktivitas pamer barang mewah atau hidup mewah lewat media sosial. Hal itu berdampak pada ukuran kebahagiaan menjadi berdasarkan materi. Padahal tidak selalu seperti itu kata kedua dokter tersebut.Â
Isu seputar kebahagiaan ini diangkat oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta sebagai salah satu sarana penyadaran masyarakat untuk peduli dengan kebahagiaannya sendiri. Terlebih mengingat Jakarta masuk ke dalam daftar 10 kota dengan tingkat stres tertinggi di dunia, berdasarkan laporan The Least and Most Stressful Cities Index tahun 2021.
Advertisement
Bikin Jurnal Bersyukur, Bantu Miliki Hidup Bahagia
Vivi menganjurkan praktik menulis jurnal bersyukur (gratitude journal), semacam menulis diari secara rutin, sebagai salah satu cara menyirnakan rasa tidak bahagia.
"Buat tulisan tentang hal-hal yang kita syukuri, hal yang sederhana saja pun perlu kita syukuri. Ketika itu dilakukan secara rutin, itu bisa membantu kita menyirnakan rasa tidak bahagia," kata Vivi.
Vivi mengatakan isi jurnal bersyukur (gratitude journal) sedikit berbeda dari diari kebanyakan orang, karena isinya bukan berupa keluh kesah.
Sebaiknya tidak menuliskan keluh kesah atau membandingkan-bandingkan kebahagiaan sendiri dengan standar kebahagiaan yang berasal dari luar diri.Â
"Ciptakan bahagiamu sendiri karena setiap orang berhak bahagia dan bahagia itu ternyata segala hal baik yang kita punya," kata Vivi.
Tulis Pencapaian-Pencapaian Kecil
Vivi menyarankan untuk menuliskan pencapaian-pencapaian sederhana yang disenangi, misalnya bertemu siapa orang yang disenangi, atau melakukan latihan gym agar memacu diri mengulangi kesenangan itu esok hari.
Vivi mengatakan menulis jurnal bersyukur (gratitude journal) dapat membuat manusia belajar untuk menerima realitas dan melihat segala persoalan dari sisi positif.
Bahkan manusia bisa mengubah perspektifnya agar tidak terlalu terpaku pada sisi negatif, sehingga ke depannya ketika persoalan itu datang lagi, dia bisa belajar dari pengalaman.
Advertisement