Liputan6.com, Jakarta Bahasan tentang Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS) atau yang secara awam disebut sebagai 'bakteri pemakan daging' ('flesh-eating bacteria') banyak dibicarakan. Lantaran saat ini sedang ada peningkatan kasus STTS di Jepang dan menjadi berita penting di dunia.
Terkait 'bakteri pemakan daging' atau STTS ada lima hal tentang penyakit ini:
Baca Juga
- Menyebar dengan cepat dan menimbulkan kematian hanya dalam waktu 48 jam saja.
- Angka kematian dapat mencapai 30%, artinya sepertinya meninggal karena penyakit ini jauh lebih tinggi dari kematian COVID-19 yang dibawah 5%.
- Belum ada vaksin untuk penyakit ini.
- Gejala bermula dari keluhan demam, nyeri otot, muntah dan dapat memburuk secara cepat karena bakteri penyebabnya melepaskan racun (toksin) yang menyebabkan respons peradangan (inflamasi) luas, syok dan kerusakan berbagai organ dalam tubuh manusia (multi-organ failure).
- Ada dua penjelasan kenapa kasusnya naik tinggi sekali sekarang ini di Jepang yakni:
- Selama pandemi COVID-19 maka banyak masyarakat yang relatif tidak banyak kotak dengan bakteri (karena jaga jarak dan lainnya hal ini menyebabkan tidak adanya ketahanan alamiah.
- Dugaan pelemahan sistem imun pasca COVID-19 atau yang dikenal sebagai weakened immune systems post-COVID-19.
Advertisement
Antisipasi STTS atau Bakteri Pemakan Daging
Berikut ini disampaikan juga tujuh hal yang dilakukan beberapa negara untuk mengantisipasi situasi STTS atau bakteri pemakan daging ini:
- Pemerintah Hongkong melalui Badan Perlindungan Kesehatan (Centre for Health Protection/CHP) Kementerian Kesehatannya memberi seruan pada warga Hongkong yang akan bepergian untuk waspada terhadap peningkatan infeksi STTS ini.
- Pemerintah Malaysia juga bergerak cepat, dan menyebutkan berkoordinasi dengan World Health Organization (WHO) untuk mendapat informasi yang lebih jelas. Malaysia memonitor secara ketat kemungkinan kasus ini di negara mereka melalui Crisis Preparedness and Response Center/CPRC divisi infeksi pemerintah mereka.
- Pemerintah Thailand mengeluarkan Travel Advisory for Thais bagi warganya yang akan ke Jepang yang meliputi:
- Persiapan sebelum berangkat
- Apa yang harus dilakukan selama bepergian
- Kewaspadaan pada mereka dengan risiko tinggi, dan
- Hal yang harus dilakukan sesudah kembali ke Thailand
Mungkin baik juga kalau pemerintah kita mempertimbangkan untuk melakukan hal serupa
Advertisement
Selanjutnya
4. Pakar Australia dari Melbourne menyebutkan bahwa bukan tidak mungkin perburukan berlangsung cepat. Seseorang bisa awalnya kelihatan sehat-sehat saja, lalu langsung memburuk.
5. Pemerintah Jepang sendiri melakukan monitoring aktif situasi penyakit ini, dan meningkatkan penyuluhan kesehatan ke masyarakat Jepang.
6. Pemerintah Amerika Serikat melalui Center of Diseases Control and Prevention (CDC) menyampaikan bahwa yang termasuk kelompok risiko tinggi terkena STTS adalah kaum lansia, mereka yang punya luka terbuka dan juga pasien-pasien yang baru menjalani pembedahan.
7. WHO pada Desember 2022 pernah pula melaporkan peningkatan kasus invasive Group A Streptococcus (iGAS) di Prancis, Irlandia, Belanda, Swedia dan Inggris, utamanya pada anak-anak, hanya memang tidak seperti peningkatan di Jepang sekarang ini.
Perkembangan yang ada di Jepang tentu perlu diamati mendalam. Perlu melakukan antisipasi dengan baik dan tidak mengabaikannya begitu saja, tapi di sisi lali kita tidak perlu harus khawatir berlebihan pula. Harus disadari bahwa berbagai penyakit masih akan tetap bermunculan, dan kewaspadaan senantiasa dari aparat kesehatan merupakan salah satu kunci pengendaliannya, di dunia dan juga di negara kita.
Penulis adalah Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit serta Kepala Balitbangkes