Liputan6.com, Jakarta Sebanyak 24 persen atau 19 juta remaja perempuan usia 15-19 pernah mengalami tindak kekerasan dari pasangannya. Baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual.
Data ini diungkap Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam penelitian terbaru yang terbit pada Senin, 29 Juli 2024 di The Lancet Child & Adolescent Health. Hampir satu dari enam (16 persen) perempuan yang pernah menjalani hubungan asmara mengalami kekerasan serupa dalam satu tahun terakhir.
Baca Juga
“Kekerasan yang dilakukan oleh pasangan intim mulai terjadi secara dini dan mengkhawatirkan bagi jutaan perempuan muda di seluruh dunia,” kata Dr Pascale Allotey, Direktur Departemen Penelitian dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi WHO.
Advertisement
“Mengingat kekerasan yang terjadi pada tahun-tahun awal pertumbuhan ini dapat menimbulkan dampak buruk yang mendalam dan berkepanjangan, maka hal ini perlu ditanggapi dengan lebih serius sebagai masalah kesehatan masyarakat dengan fokus pada pencegahan dan dukungan yang tepat sasaran,” tambahnya mengutip keterangan resmi WHO, Rabu (31/7/2024).
Dia menambahkan, kekerasan yang dilakukan oleh pasangan dapat berdampak buruk terhadap kesehatan, prestasi pendidikan, hubungan di masa depan, dan prospek seumur hidup generasi muda.
Dari sudut pandang kesehatan, hal ini meningkatkan kemungkinan cedera, depresi, gangguan kecemasan, kehamilan yang tidak direncanakan, infeksi menular seksual, dan banyak kondisi fisik dan psikologis lainnya.
Cerminkan Kesenjangan yang Mengakar
Tingginya angka kekerasan terhadap remaja perempuan mencerminkan kesenjangan yang mengakar, lanjut Pascale.
Studi ini memanfaatkan data yang ada untuk memberikan analisis terperinci mengenai prevalensi kekerasan fisik dan/atau seksual yang dialami oleh anak perempuan berusia 15–19 tahun yang pernah menjalin hubungan intim.
Laporan ini juga mengidentifikasi faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya yang lebih luas yang meningkatkan risikonya.
Advertisement
Wilayah dengan Kasus Kekerasan pada Remaja Perempuan Paling Parah
Meskipun kekerasan terhadap remaja perempuan terjadi di mana-mana, penulis menyoroti perbedaan prevalensi yang signifikan.
Berdasarkan perkiraan WHO, wilayah yang terkena dampak paling parah adalah:
- Oseania (47 persen)
- Afrika Sub-Sahara tengah (40 persen).
Sedangkan, tingkat terendah terjadi di:
- Eropa Tengah (10 persen)
- Asia Tengah (11 persen).
Analisis baru ini menemukan bahwa kekerasan yang dilakukan pasangan intim terhadap remaja perempuan paling sering terjadi di negara-negara dan wilayah-wilayah berpendapatan rendah. Termasuk di negara yang remaja perempuannya banyak berpendidikan rendah.
Pernikahan di Bawah Umur Jadi Faktor Risiko Kekerasan
Pernikahan dini atau sebelum usia 18 tahun secara signifikan meningkatkan risiko kekerasan pada remaja perempuan.
Perbedaan usia pasangan menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan, ketergantungan ekonomi, dan isolasi sosial – yang semuanya meningkatkan kemungkinan terjadinya pelecehan.
Maka dari itu, remaja perempuan memerlukan layanan dan dukungan yang tepat sasaran. Studi ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk memperkuat layanan dukungan dan langkah-langkah pencegahan dini yang disesuaikan untuk remaja. Di samping tindakan untuk memajukan hak perempuan dan anak perempuan.
Ini bisa dimulai dari program berbasis sekolah yang mendidik anak laki-laki dan perempuan tentang hubungan yang sehat dan pencegahan kekerasan, hingga program pendampingan hukum.
Perlindungan juga bisa mencakup pemberdayaan ekonomi. Karena banyak remaja tidak memiliki sumber daya keuangan, mereka menghadapi tantangan khusus untuk meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan.
Advertisement