Liputan6.com, Jakarta Penyakit mulut dan kuku (PMK) sudah menunjukkan adanya kenaikan kasus sejak Desember 2024.
Hingga 6 Januari 2025, wabah yang menyerang hewan berkuku belah seperti sapi, babi, kerbau, dan domba ini telah mencapai 8.483 kasus dengan jumlah kematian 223 kasus, serta pemotongan paksa sebanyak 73 kasus. Data tersebut tersebar di 9 provinsi, termasuk Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Advertisement
Baca Juga
Pakar sekaligus Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Prof. Dr. drh. Aris Haryanto, M.Si. mengatakan kemungkinan lonjakan kasus PMK dipicu proses vaksinasi yang belum menyeluruh dan berkala.
Advertisement
“Kasus PMK kali ini merupakan gelombang kedua, sebelumnya sudah pernah (vaksinasi) dan peternak sekarang sudah terinformasi. Namun karena kasusnya mereda, jumlah vaksinasinya juga menurun,” kata Aris dalam keterangan resmi UGM.
Penyakit PMK atau bernama lain apthae epizootica (AE), aphthous fever, dan foot and mouth disease (FMD) ini disebabkan oleh virus RNA, genus Apthovirus yang termasuk dalam keluarga Picornaviridae.
Meskipun virus ini memiliki berbagai serotipe, yakni O, A, C, Southern African Territories (SAT – 1, SAT – 2 dan SAT – 3) dan Asia – 1, kasus di Indonesia diyakini bertipe O.
Aris menjelaskan, penyebarannya sangat cepat dan menular pada hewan ternak, baik secara langsung, tidak langsung, maupun melalui udara. Penyebaran lewat udara inilah yang membedakan virus ini dengan jenis virus lainnya.
“Virus penyebab PMK ini bisa menyebar secara langsung melalui udara. Jika hewan itu ditempatkan berdampingan, kemungkinan tertularnya besar. Bahkan ada kasus di mana penularannya bisa sampai 200 km jaraknya,” terang Aris.
Kenapa PMK Cepat Merebak Beberapa Tahun Terakhir?
Merebaknya penyakit PMK beberapa tahun terakhir menimbulkan tanya di tengah masyarakat. Berawal dari kasus pertama di Jawa Timur dan Nangroe Aceh Darussalam (NAD).
“Gelombang kedua wabah PMK kali ini juga muncul di kedua daerah tersebut,” kata Aris.
Menurut Aris, hal ini berkaitan dengan vaksinasi PMK. Pengembangan vaksin PMK terus digalakkan oleh pemerintah dengan mengembangkan jenis vaksin sesuai dengan tipe virus yang muncul dalam kasus nasional. Sayangnya, produksi vaksin dalam negeri masih belum mencukupi kebutuhan vaksinasi untuk hewan-hewan ruminansia ternak yang rentan terkena PMK.
“Vaksinasi itu harus dilakukan dua kali minimal. Jarak antara vaksin pertama dan kedua itu sebulan. Tapi setelah itu tetap harus divaksin setiap enam bulan sekali,” jelas Aris.
Advertisement
Mitigasi PMK Perlu Dilakukan Bertahap Sesuai Gejala yang Muncul
Soal mitigasi wabah PMK, Aris menilai perlu dilakukan secara bertahap sesuai gejala yang muncul. Pada tahap pertama, hewan yang terkena PMK akan mengalami demam tinggi.
Peternak diharapkan bisa bersikap tanggap dengan memberi analgesik dan antibiotik untuk meredakan nyeri dan demam.
Selain itu, hewan yang mengalami gejala harus dipisahkan dengan hewan lainnya agar mencegah penularan lebih lanjut. Dalam tahap selanjutnya, akan muncul lepuh atau lesi atau sariawan pada rongga mulut, serta luka pada kuku.
“Hewan yang terinfeksi harus diberi antibiotik dan vitamin secara berkala, ini untuk mencegah munculnya infeksi sekunder akibat luka yang terbuka,” papar Aris.
Selama pelaksanaan mitigasi, peternak diharapkan menerapkan biosekuriti yang baik pada area kandang dengan mengawasi secara ketat akses keluar masuk pada hewan yang terinfeksi.
Masa Inkubasi Virus PMK
Masa inkubasi virus PMK, sambung Aris, bisa dalam jangka pendek maupun panjang. Yakni selama 2 hingga 5 hari atau 10 hingga 14 hari.
Faktor yang memengaruhi masa inkubasi adalah jenis virus dan tata laksana ternak. Oleh karena itu, Aris menegaskan, penting bagi peternak untuk langsung melaporkan kasus PMK pada petugas satgas atau dokter hewan terdekat untuk membantu peternak melakukan mitigasi dan penanganan.
“Tidak perlu panik, utamanya segera lapor dan lakukan mitigasi. Pemerintah saat ini sudah menutup beberapa pasar hewan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Harapannya masyarakat bisa menaati karena ini bersifat sementara,” tambah Aris.
Kerja sama antar pihak sangat diperlukan untuk mengatasi wabah PMK, lanjut Aris. Pemerintah bersama Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) dan sejumlah pakar terus menjalin kerja sama agar jumlah kasus terinformasi dan tertangani dengan baik.
Untuk wilayah DIY dan Jawa Tengah, katanya, Fakultas Kedokteran Hewan UGM juga turut berkontribusi menangani kasus PMK melalui PDHI maupun penerjunan mahasiswa secara langsung.
Advertisement