Pendiri NU Atau Nahdlatul Ulama, Perjalanan Kehiduapan KH Hasyim Al Asy’ari

Biografi perjalanan hidup ulama dan pendiri NU, KH Hasyim Al Asy'ari.

oleh Woro Anjar Verianty diperbarui 03 Feb 2023, 08:40 WIB
Diterbitkan 03 Feb 2023, 08:40 WIB
Pendiri NU sekaligus Rais Akbar, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari. (Foto: Istimewa via NU Online)
Pendiri NU sekaligus Rais Akbar, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari. (Foto: Istimewa via NU Online)

Liputan6.com, Jakarta Pendiri NU adalah KH Hasyim Al Asy'ari. NU yang merupakan singkatan dari Nahdlatul Ulama adalah organisasi keagamaan Islam di Indonesia yang berdiri secara resmi pada 31 Januari 1926. Selain merupakan pendiri NU, KH Hasyim Al Asy'ari juga merupakan pencetus fatwa resolusi Jihad yang mendasari pertempuran di Surabaya tahun 1945.

Pendiri NU ini juga merupakan pendiri Pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai pembaharu pendidikan pesantren di Indonesia. Selain mengajar agama di pesantren, KH Hasyim Al Asy'ari juga mengajar santri membaca buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.  Lahir di Pondok Gedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875, keluarganya telah memimpin pesantren secara turun-temurun. 

Ayah KH Hasyim Al Asy'ari adalah Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras di selatan Jombang. Sedangkan ibunya Halimat, merupakan keturunan Prabu Brawijaya VI, yang juga dikenal sebagai Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang. KH Hasyim Al Asy'ari tidak hanya dikenal sebagai pendiri NU, namun juga salah satu tokoh yang berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Untuk lebih mengenal KH Hasyim Al Asy'ari? Berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber tentang biografi perjalanan hidup ulama dan pendiri NU, KH Hasyim Al Asy'ari, Jumat (3/2/2023).

Masa Kecil KH Hasyim Al Asy'ari

Istigasah NU
Ratusan warga NU gelar Istigasah Kubro di Sidoarjo. Sementara itu, peringatan HUT TNI ke-71 digelar meriah. (Liputan 6 SCTV)

Lahir di Pondok Gedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875, Ayah KH Hasyim Al Asy'ari adalah Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras di selatan Jombang. Sedangkan ibunya Halimat, merupakan keturunan Prabu Brawijaya VI. Waktu dalam kandungan dan kelahiran KH.M. Hasyim Asy'ari, Ibunya Halimah bermimpi melihat bulan purnama jatuh ke dalam rahimnya.

Sewaktu kecil ia tinggal bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, hal ini berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti orang tuanya yang pindah ke Desa Keras yang terletak di sebelah selatan Jombang, dan di desa tersebut Kiai Asy'ari mendirikan pesantren bernama Asy'ariyah.

Memiliki prinsip belajar sejak dini dan lingkungan kehidupannya yang mendukung yaitu tinggal di lingkungan pesantren, sehingga wajar jika nilai-nilai pesantren sangat meresap dalam dirinya, begitu juga dengan nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagaimana ayah dan ibunya memberikan bimbingan kepada mereka. santri, dan bagaimana santri hidup sederhana penuh keakraban dan gotong royong.

Budaya dalam keluarganya itulah yang mengawali dirinya pertama kali belajar ilmu agama dari kakek dan neneknya. Kampung Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini awalnya ia mendapat pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu adalah pendiri dan pengurus Pondok Pesantren Asy'ariyah. 

Dengan modal intelektualnya dan dorongan lingkungan yang kondusif, di usianya yang cukup muda, ia sudah mampu memahami ilmu-ilmu agama, baik itu bimbingan keluarga, guru, maupun secara otodidak. Setelah kurang lebih sembilan tahun di Desa Keras yakni belajar bersama keluarganya, ia memulai pengembaraannya untuk menuntut ilmu.

Perjalanan Pendidikan KH Hasyim Al Asy'ari

Pada usia 15 tahun, KH Hasyim Al Asy'ari memutuskan untuk mengembara ke Berbagai Pesantren. Muhammad Hasyim memulainya dengan menimba ilmu di pesantren ternama di Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tenggilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban, kemudian Bangkalan, Madura.

Setelah kurang lebih lima tahun belajar di Madura tepatnya tahun 1307 H/1891 M, akhirnya ia kembali ke Jawa, belajar di pondok pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, di bawah bimbingan KH Ya'qub yang terkenal dengan ilmunya. ilmu nahwu dan shorof. Selang beberapa waktu, Kiai Ya'qub semakin dekat dengan santri tersebut dan semakin tertarik untuk menjadi menantunya.

Pada tahun 1303 H/1892 M, Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya'qub. Tidak lama setelah melangsungkan pernikahan, ia kemudian berangkat ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Selain menunaikan ibadah haji, di Mekkah ia juga memperdalam ilmu yang sudah dimiliki, dan menyerap ilmu baru yang dibutuhkan. 

Kerinduan akan Tanah Suci rupanya memanggilnya untuk kembali ke Mekkah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau kembali ke Tanah Suci bersama adiknya, Anis. Kenangan indah sekaligus sedih kembali terlintas saat kakinya menginjak Tanah Suci Mekkah. Namun justru menimbulkan semangat baru untuk lebih bertakwa dalam beribadah dan mendalami ilmu. 

KH Hasyim Al Asy'ari juga mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan mujarab, berdoa untuk mencapai cita-citanya, seperti Lapangan Arafah, Gua Hira', Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Nabi Muhammad di Madinah selalu menjadi tempat ziarah baginya. Beliau mengunjungi ulama-ulama besar yang terkenal saat itu untuk menuntut ilmu sekaligus mengambil berkah, diantaranya Syekh Syuaib bin Abdurrahman,

Setelah bertahun-tahun di Mekkah, KH Hasyim Al Asy'ari kembali ke Tanah Air dengan ilmu agama yang hampir lengkap, baik ma'qul maupun manqul, sebagai bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halamannya.

Berdirinya Pesantren Tebuireng

Sekembalinya dari Tanah Suci sekitar tahun 1313 H/1899 M, KH Hasyim Al Asy'ari mulai mengajar santri di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh kakeknya, sekaligus tempat beliau dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu dia mengajar di desa Muning Mojoroto Kediri. Di sinilah ia berhasil mempersunting salah satu putri Kyai Sholeh Banjar Melati. 

Sayangnya, karena berbagai alasan, pernikahan tersebut tidak berlangsung lama sehingga Kiai Hasyim kembali ke Jombang. Saat berada di Jombang, ia berencana membangun pesantren, yang ia pilih bertempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu menjadi sarang pembangkangan dan kekacauan. Pilihan tersebut tentu saja menuai tanda tanya besar di kalangan masyarakat, namun semua itu diabaikan.

Pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H/1899 M, Pesantren Tebuireng didirikan bersama rekan-rekan seperjuangannya, seperti Kyai Abbas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kerep, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesulitan dan ancaman dari pihak-pihak yang terlibat. 

KH. M. Hasyim Asy'ari memulai tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaannya yaitu penyelesaian kitab shahihain “Al-Bukhari dan Muslim” yang diadakan setiap bulan suci Ramadhan yang konon dihadiri ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh Jawa. Tradisi ini berlanjut hingga sekarang. 

Awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah menjadi ratusan orang, bahkan sampai akhir hayat mencapai ribuan, alumni Pondok Tebuireng yang berhasil menjadi ulama besar dan menjadi pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi pusat pesantren. 

Pendirian Nahdlatul Ulama atau NU

Selain aktif mengajar, beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik lokal maupun nasional. Pada tanggal 16 Sa'ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang, Jawa Timur, didirikan Jam'iyah Nahdlotul Ulama' (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama besar lainnya, seperti Imam Muhammad bin Idris Al Syafi'i, Imam Malik bin Anas , Imam Abu Hanifah An-Nu'am dan Ahmad bin Hambali. 

KH. Hasyim Asy'ari terpilih menjadi rois akbar NU, gelar yang kini tak dimiliki siapa pun. Ia juga menyusun qanun dasar NU yang mengembangkan ideologi Ahli Sunnah wal jama'ah. Nahdlatul ulama 'sebagai ikatan ulama' di seluruh Indonesia dan mengajarkan jihad untuk keyakinan dengan sistem yang terorganisir. 

Memang tidak mudah menyatukan para ulama' yang berbeda pandangan, namun bukan Kiai Hasyim yang menyerah begitu saja, ia melihat perjuangan yang dilakukan seorang diri akan membuka peluang yang lebih besar bagi musuh untuk menghancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan cahaya. dan syi'ar Islam di Indonesia, saling bertikai. 

Beliau adalah orang yang tajam dan berpandangan jauh ke depan dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapi oleh umat Islam, maka dari itu beliau berpikir untuk mencari jalan keluar dengan membentuk organisasi dengan yayasan yang dapat diterima oleh ulama ulama lainnya.

Dalam dekade pertamanya, NU berorientasi pada isu-isu agama dan sosial. Kegiatan diarahkan pada masalah pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun, memasuki dekade kedua orientasinya diperluas ke isu-isu nasional. Hal ini terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai Muslim Indonesia dan Ikatan Umat Islam Indonesia (MIAI) NU bahkan dalam sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai politik peserta pemilu yang kemudian bergabung dengan PPP. 

Peran NU dalam politik praktis kemudian dibatalkan dengan keputusan Muktamar Situbondo yang menginginkan NU sebagai organisasi sosial-keagamaan kembali pada khitahnya.

Peran NU dalam Kemerdekaan

Peran KH. M. Hasyim Asy'ari tidak hanya terbatas pada bidang ilmu pengetahuan dan agama, tetapi juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, ia terlibat aktif dalam perjuangan untuk membebaskan bangsa dari penjajah Belanda. Pada tahun 1937 ia didekati oleh pimpinan pemerintah Belanda dengan memberikan bintang emas dan perak sebagai tanda kehormatan namun ia menolak. 

Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada murid-muridnya tentang kejadian tersebut dan dianalogikan dengan kejadian yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW yang pada saat itu Jahiliyah menawarinya tiga hal, yaitu:

- Sebuah kursi berpangkat tinggi di pemerintahan

- Harta berlimpah

- Gadis-gadis tercantik

Namun, Nabi (SAW) menolak dan bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka memiliki kekuatan untuk menempatkan matahari di tangan kanan saya dan bulan di tangan kiri saya dengan tujuan menghentikan saya dari pertempuran, saya tidak akan menerimanya. Bahkan nyawaku pertaruhkan. 

Masa revolusi fisik tahun 1940, mungkin memang merupakan masa terberat baginya. Selama pendudukan Jepang, ia ditahan oleh pemerintah fasis Jepang. Selama dalam tahanan ia disiksa secara fisik hingga salah satu jarinya menjadi cacat. Namun justru pada masa itulah ia menorehkan lembaran tinta emas dengan menyerukan resolusi jihad yang ia tetapkan pada tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya, yang kini dikenal dengan Hari Pahlawan Nasional  .

Begitu juga pada masa penjajahan Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan dipindahkan ke penjara Mojokerto kemudian dipenjarakan di Surabaya. Dia dianggap sebagai penghalang gerakan Jepang. Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi ketua umum pengurus partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI), beliau menduduki jabatan tersebut namun tetap mengajar di pondok pesantren hingga beliau wafat pada tahun 1947.

Akhir Hidup KH Hasyim Asya'ri

Pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M pukul 21.00, setelah KH Hasyim Asya'ri selesai memimpin Shalat Tarawih, seperti biasa duduk di kursi untuk memberi pelajaran kepada ibu-ibu muslim. Tidak lama kemudian, utusan tamu Jenderal Sudirman dan Bung Tomo tiba-tiba datang. Kiai menemui utusan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu menyampaikan pesan berupa surat. 

Apapun isi suratnya, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu tadi malam untuk berpikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya. Para tamu mengucapkan selamat tinggal. Namun, dia tidak menjawab, maka Kiai Ghufron menghampiri dan kemudian meminta kedua tamu itu pergi, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy'ari. 

Tidak lama kemudian, Kyai Ghufron menyadari bahwa Kiai Hasyim sudah tidak sadarkan diri. Dengan tergesa-gesa, ia memanggil keluarganya dan menggeliatkan jenazah Kiai Hasyim. Saat itu putra-putri beliau tidak hadir, misalnya Kyai Yusuf Hasyim yang saat itu sedang berada di markas para pejuang,

Tak lama kemudian diketahui bahwa Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak. Meski dokter sudah berusaha untuk mengurangi penyakitnya, Tuhan punya rencana lain untuk kekasihnya. KH.M. Hasyim Asy'ari meninggal dunia pada pukul 03.00 WIB, tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan tanggal 07 Ramadhan 1366 H.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya