Liputan6.com, Jakarta Hari Puisi Nasional diperingati setiap tanggal 28 April sebagai bentuk penghargaan bagi para penyair yang turut mengobarkan semangat para pejuang kemerdekaan melalui sajak-sajak yang ditulisnya. Sejarah Hari Puisi Nasional ternyata sangat erat dengan sosok penyair Indonesia yang sangat berpengaruh pada dunia sastra Indonesia, yaitu Chairil Anwar.
Sosok Chairil yang terkenal dengan julukan “Si Binatang Jalang” memang membawa pengaruh yang cukup kuat pada tren puisi Indonesia kala itu. Chairil menjadi pelopor penggunaan bahasa Indonesia yang lugas dalam puisi. Sebelumnya pemilihan kata puisi Indonesia penuh dengan analogi yang multitafsir
Sejarah Hari Puisi Nasional dapat menjadi pengingat jasa pada sastrawan Indonesia yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui goresan penanya. Berikut sejarah Hari Puisi Nasional yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber.
Advertisement
Sejarah Hari Puisi Nasional
Penetapan tanggal 28 April sebagai Hari Puisi Nasional tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 12 Agustus 1969. Sejarah Hari Puisi Nasional yang merupakan hari kematian Chairil Anwar dipilih karena perannya sebagai pelopor Angkatan 45. Chairil diwakili putri semata wayangnya, Evawani Alissa, juga mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia saat penetapan Hari Puisi Nasional.
Penetapan tanggal 28 April sebagai Hari Puisi Nasional yang merupakan tanggal kematian Chairil terbilang unik. Biasanya hari peringatan diambil dari hari kelahiran tokoh yang berpengaruh pada bidang yang diperingati. Misalnya Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap 2 Mei merupakan tanggal lahir Ki Hajar Dewantara, atau Hari Musik Nasional yang diperingati setiap 21 April yang merupakan tanggal lahir WR Supratman.
Advertisement
Mengenal Sosok Si Binatang Jalang
Sejarah Hari Puisi Nasional tidak dapat dipisahkan dari sosok Chairil Anwar. Chairil lahir di Medan, 26 Juli 1922. Ia adalah putra mantan Bupati Indragiri Riau, dan masih memiliki ikatan keluarga dengan Perdana Menteri pertama Indonesia, Sutan Sjahrir. Chairil mengenyam pendidikan Hollandsch-Inlandsche School (HIS), kemudian dilanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Medan. Chairil ikut berhijrah ke Batavia dengan Ibunya kemudian melanjutkan pendidikannya di MULO Batavia, namun hanya sampai tingkat dua.
Meskipun tidak menamatkan pendidikannya di MULO, Chairil yang memiliki ketertarikan terhadap bahasa, mampu menguasai tiga bahasa asing, yaitu Inggris, Belanda, dan Jerman. Chairil dikenal sebagai monster pelahap buku, berbagai jenis buku ia baca. Tak jarang untuk memenuhi hasrat membacanya, Chairil mencuri buku di toko karena tidak mampu membelinya.
Chairil Anwar terkenal dengan gagasan puisinya yang mendobrak. Puisi “Aku", yang ditulis tahun 1943, dimuat di majalah Timur pada 1945, dianggap sebagai puisi yang besar pengaruhnya pada Angkatan 45. Dari puisi ini lah Chairil mendapatkan julukan “Si Binatang Jalang”.
Chairil Anwar merupakan penyair yang produktif. Selama periode 1942–1949 Chairil telah menuliskan 70 sajak asli, 4 saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Chairil Anwar juga menjadi penyair yang mempelopori penggunaan penggunaan bahasa Indonesia yang lugas dalam puisi modern.
Puisi-puisinya sering dianggap sebagai karya yang merefleksikan semangat perjuangan dan nasionalisme bangsa Indonesia pada masa itu. Karya-karya Chairil Anwar banyak dijadikan sebagai bahan bacaan di sekolah-sekolah dan dianggap sebagai warisan budaya Indonesia yang harus dilestarikan.
Sastrawan di masa sebelum kemerdekaan, seperti sastrawan Pujangga Lama hingga sastrawan Angkatan 45, termasuk Chairil Anwar, adalah penabuh genderang semangat Perjuangan. Tidak hanya menelurkan sajak-sajak yang membakar semangat anak bangsa, Chairil dan para sastrawan lainnya membuat jargon-jargon perjuangan yang mengobarkan semangat perjuangan
Pada masa pra-kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan, istilah-istilah pengobar perjuangan dirumuskan secara sastra, sehingga menjadi motto yang efektif untuk memicu rasa nasionalisme. Contohnya seperti motto “merdeka atau mati!” atau “berjuang sampai titik darah penghabisan” yang digoret pada poster perjuangan karya pelukis Affandi, dan juga slogan terkenal dari penyair Chairil Anwar, “Bung Ajo Bung!”.
Chairil Anwar menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946 dan bercerai pada akhir tahun 1948. Deri pernikahannya dengan Hapsah Wiraredja, Chairil memiliki seorang putri bernama Evawani Alissa. Chairil Anwar meninggal di usia relatif muda, yaitu 27 tahun. Chairil meninggal pada pukul 15.00 tanggal 28 April 1949 di Rumah Sakit CBZ Jakarta. Ia mengidap sakit paru-paru dan disemayamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta Pusat.
Berikut 2 puisi chairil yang fenomenal.
Karya Fenomenal Chairil
AKU
Kalau sampai waktuku'Ku mau tak seorang 'kan merayuTidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalangDari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitkuAku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlariBerlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduliAku mau hidup seribu tahun lagi!
Karawang-Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasitidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepiJika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetakKami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisaTapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakanTapi adalah kepunyaanmuKaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapanatau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkataKaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepiJika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kamiTeruskan, teruskan jiwa kamiMenjaga Bung KarnoMenjaga Bung HattaMenjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayatBerikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kamiyang tinggal tulang-tulang diliputi debuBeribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Advertisement