9 Faktor yang Membuat Pernikahan Tidak Sah dan Batal Menurut Hukum Islam

Pelajari secara lengkap 9 faktor utama yang dapat membuat pernikahan menjadi tidak sah atau batal menurut hukum Islam. Simak penjelasan detail beserta dalil dan contoh kasusnya.

oleh Mabruri Pudyas Salim diperbarui 26 Nov 2024, 19:15 WIB
Diterbitkan 26 Nov 2024, 19:15 WIB
Rizky Febian dan Mahalini
Rizky Febian dan Mahalini memakai cincin pernikahan dari Wanda House of Jewels. (dok. Wanda House of Jewels)

Liputan6.com, Jakarta Pernikahan dalam Islam merupakan ikatan suci yang memiliki aturan dan syariat yang tegas. Tidak hanya tentang prosesi akadnya saja, tetapi juga menyangkut syarat, rukun, dan hal-hal yang dapat membatalkannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Wahbah ibn Mushthafa al-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, pernikahan yang batal adalah pernikahan yang tidak memenuhi rukun, sedangkan pernikahan rusak adalah pernikahan yang tidak memenuhi syarat.

Pemahaman tentang faktor-faktor yang membuat pernikahan tidak sah menjadi sangat penting, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap kehidupan pasangan dan keturunannya. Hal ini dapat dilihat dari kasus terkini seperti pernikahan Rizky Febian dan Mahalini yang dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan karena ketidaklengkapan rukun nikah, khususnya terkait wali nikah.

Berdasarkan kajian fikih dan hukum Islam, berikut adalah penjelasan lengkap mengenai faktor-faktor yang dapat membuat pernikahan menjadi tidak sah atau batal, sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Selasa (26/11/2024).

1. Pernikahan Tanpa Wali yang Sah

Keberadaan wali nikah merupakan salah satu rukun utama dalam pernikahan Islam. Pernikahan dapat dinyatakan tidak sah jika dilaksanakan tanpa wali yang memenuhi syarat atau wali yang tidak berhak. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, "Tidak sah nikah kecuali dengan wali."

Dalam kasus mualaf seperti Mahalini, ketika ayah kandung non-Muslim tidak dapat menjadi wali, seharusnya dialihkan kepada wali hakim yang ditunjuk secara resmi oleh KUA. Penunjukan wali hakim pun harus melalui prosedur yang benar dan sesuai ketentuan syariat.

Wali nikah memiliki urutan prioritas yang harus dipatuhi, dimulai dari ayah kandung, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Jika urutan ini dilanggar tanpa alasan syar'i yang jelas, maka pernikahan tersebut dapat dinyatakan tidak sah.

Ketidakabsahan wali juga bisa terjadi jika wali yang ditunjuk tidak memenuhi syarat, seperti belum baligh, tidak berakal, atau fasik. Islam menetapkan syarat-syarat ketat untuk wali nikah untuk memastikan terjaganya hak-hak perempuan dalam pernikahan.

2. Pernikahan Syighar

Pernikahan syighar adalah bentuk pernikahan di mana seorang wali menikahkan putrinya dengan syarat dia dinikahkan dengan putri dari wali lain, tanpa mahar yang jelas. Model pernikahan ini dilarang dalam Islam berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang dengan tegas menyatakan, "Tidak ada nikah syighar dalam Islam."

Larangan ini berlaku karena pernikahan syighar mengandung unsur eksploitasi terhadap perempuan, di mana mereka dijadikan sebagai alat tukar tanpa memperhatikan hak-hak mereka dalam pernikahan. Selain itu, tidak adanya mahar yang jelas juga melanggar salah satu kewajiban dalam pernikahan Islam.

Para ulama sepakat bahwa pernikahan syighar termasuk pernikahan yang batal dan tidak memiliki dampak hukum apa pun. Jika terjadi hubungan suami istri, maka wajib ada mahar mitsil (mahar standar) sebagai bentuk perlindungan terhadap hak perempuan.

Pembatalan pernikahan syighar berlaku sejak awal akad, yang berarti segala konsekuensi pernikahan seperti hak waris, nasab anak, dan kewajiban nafkah perlu ditinjau ulang sesuai ketentuan syariat.

3. Pernikahan Mut'ah

Akad Nikah Nino RAN dengan Dhabitannisa Auni
Sambil menjabat tangan wali nikah, Nino mengucap ijab kabul dengan lantang dalam satu tarikan napas. (Foto: thebridestory)

Pernikahan mut'ah atau kawin kontrak adalah pernikahan yang dibatasi oleh waktu tertentu, baik sebentar maupun lama. Islam dengan tegas melarang praktik ini melalui hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim, di mana beliau mengharamkan nikah mut'ah pada saat Fathu Makkah.

Keharaman nikah mut'ah didasarkan pada prinsip bahwa pernikahan dalam Islam bertujuan untuk membangun keluarga yang langgeng (sakinah, mawaddah, warahmah), bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan biologis semata. Pembatasan waktu dalam pernikahan bertentangan dengan tujuan mulia ini.

Pernikahan mut'ah tidak hanya batal secara hukum syariat, tetapi juga tidak diakui oleh hukum positif di Indonesia. Hal ini sesuai dengan UU Perkawinan yang mensyaratkan pernikahan sebagai ikatan lahir batin yang tidak dibatasi waktu.

Dampak dari pernikahan mut'ah sangat merugikan, terutama bagi perempuan dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Mereka kehilangan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan dalam pernikahan yang sah.

4. Pernikahan dalam Masa Ihram

Seseorang yang sedang melaksanakan ibadah ihram, baik haji maupun umrah, dilarang melangsungkan pernikahan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, "Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh meminang."

Larangan ini berlaku baik bagi yang sedang ihram maupun yang akan menikah dengan orang yang sedang ihram. Pernikahan yang dilangsungkan dalam kondisi ini dinyatakan tidak sah dan harus diulang setelah selesai ihram.

Meskipun demikian, orang yang sedang ihram diperbolehkan untuk melakukan rujuk dengan istri yang telah ditalak raj'i, karena rujuk dianggap sebagai kelanjutan dari pernikahan sebelumnya, bukan memulai pernikahan baru.

Keharaman menikah saat ihram ini menunjukkan bagaimana Islam mengatur setiap aspek kehidupan pemeluknya, termasuk waktu yang tepat untuk melangsungkan pernikahan.

5. Pernikahan dengan Mahram

Menikah di Tanggal Cantik
Pengantin pria menggunakan masker mengucapkan kalimat ijab-kabul saat prosesi pernikahan di KUA Pamulang, Tangerang Selatan, Selasa (22/2/2022). Sebanyak 10 pasangan menjalankan akad nikah di KUA Pamulang pada hari ini yang dianggap memiliki tanggal cantik. (merdeka.com/Arie Basuki)

Islam melarang keras pernikahan dengan mahram, baik karena nasab (keturunan), mushaharah (persemendaan), maupun radha'ah (sepersusuan). Allah SWT telah menetapkan larangan ini dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 23.

Larangan menikahi mahram bersifat permanen (muabbad) dan tidak dapat berubah dalam kondisi apapun. Pernikahan yang terlanjur dilakukan dengan mahram harus segera dibatalkan, dan jika terjadi hubungan suami istri, maka termasuk dalam kategori zina yang mendapat sanksi berat.

Islam menetapkan 14 golongan wanita yang haram dinikahi selamanya, tujuh karena nasab dan tujuh karena sebab lain. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga garis keturunan dan mencegah terjadinya pernikahan yang dapat merusak tatanan sosial.

Para calon pengantin wajib melakukan penelusuran mendalam tentang status kemahraman sebelum melangsungkan pernikahan untuk menghindari terjadinya pernikahan yang batal.

6. Pernikahan Beda Agama yang Dilarang

Meskipun Islam memperbolehkan laki-laki Muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang murni, namun terdapat batasan-batasan yang harus diperhatikan. Pernikahan seorang Muslim dengan penyembah berhala, ateis, atau pengikut agama selain ahli kitab adalah tidak sah.

Begitu pula, seorang Muslimah dilarang menikah dengan laki-laki non-Muslim, apapun agamanya. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 yang melarang pernikahan dengan orang musyrik hingga mereka beriman.

Jika salah satu pasangan murtad sebelum terjadi hubungan suami istri, maka pernikahan langsung batal. Namun jika kemurtadan terjadi setelah hubungan suami istri, maka ditunggu hingga masa iddah selesai untuk menentukan status pernikahan.

Dalam konteks Indonesia, pernikahan beda agama tidak dapat dicatatkan secara resmi, sehingga tidak mendapat perlindungan hukum negara.

7. Pernikahan dalam Masa Iddah

Pasangan Ini Tetap Langsungkan Penikahan
Penghulu membimbing seorang warga mengucapkan ijab kabul di kawasan Pancoran, Jakarta, Rabu (1/4/2020). Pasangan tersebut menggelar pernikahan yang hanya dihadiri pihak keluarga mempelai guna menghindari pertemuan dengan orang banyak dan meminimalkan penyebaran COVID-19. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Wanita yang masih dalam masa iddah, baik karena cerai atau ditinggal mati suami, tidak boleh melangsungkan pernikahan baru. Allah SWT telah menetapkan larangan ini dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 228.

Pernikahan yang dilakukan dalam masa iddah dinyatakan batal dan harus dipisahkan. Jika terjadi hubungan suami istri, maka wanita tersebut harus menjalani dua masa iddah secara berurutan: iddah dari suami pertama hingga selesai, dilanjutkan iddah dari pernikahan yang batal.

Hikmah dari larangan ini antara lain untuk memastikan kekosongan rahim, memberikan waktu untuk berkabung (dalam kasus kematian suami), dan memberi kesempatan untuk rujuk (dalam kasus talak raj'i). Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat mengakibatkan kerancuan nasab anak dan permasalahan waris yang kompleks.

8. Pernikahan Paksa

Pernikahan yang dilakukan di bawah paksaan atau ancaman dinyatakan tidak sah, kecuali dalam kondisi tertentu seperti anak perempuan yang belum baligh yang dinikahkan oleh ayahnya (wali mujbir).

Syarat sahnya pernikahan adalah adanya kerelaan (ridha) dari kedua mempelai, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa perempuan yang sudah janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan perawan dimintai izinnya.

Islam sangat menghargai hak individu dalam memilih pasangan hidup. Paksaan dalam pernikahan dapat mengakibatkan ketidakharmonisan rumah tangga dan berpotensi menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Pengecualian untuk wali mujbir harus tetap mempertimbangkan kemaslahatan anak dan tidak boleh menimbulkan mudarat.

9. Pernikahan tanpa Saksi

Acha Septriasa dan Vicky Kharisma
ilustrasi ijab kabul (Helmi Affandi/Liputan6.com)

Kehadiran dua orang saksi yang memenuhi syarat merupakan rukun nikah yang tidak boleh ditinggalkan. Pernikahan yang dilangsungkan tanpa saksi atau dengan saksi yang tidak memenuhi syarat dinyatakan tidak sah.

Saksi dalam pernikahan harus memenuhi kriteria tertentu seperti Muslim, baligh, berakal, adil, dan memahami maksud akad nikah. Kehadiran saksi berfungsi untuk mengumumkan pernikahan dan menghindari fitnah.

Para ulama sepakat bahwa nikah sirri (tanpa saksi) adalah pernikahan yang tidak sah dan harus dibatalkan. Jika terjadi hubungan suami istri sebelum pembatalan, maka berlaku ketentuan tentang wathi syubhat. Di Indonesia, pernikahan tanpa saksi tidak hanya batal secara syariat tetapi juga tidak dapat dicatatkan secara resmi, sehingga tidak mendapat perlindungan hukum.

Memahami faktor-faktor yang dapat membatalkan atau membuat pernikahan tidak sah merupakan hal yang sangat penting bagi setiap Muslim yang hendak melangsungkan pernikahan. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, terdapat sembilan faktor utama yang dapat membatalkan pernikahan, mulai dari ketiadaan wali yang sah hingga tidak adanya saksi dalam akad nikah.

Dengan memahami hal-hal ini, calon pengantin dapat mempersiapkan pernikahan mereka dengan lebih baik dan memastikan bahwa ikatan suci yang akan dibangun benar-benar sah menurut syariat Islam dan hukum negara. Mengingat besarnya dampak dari pernikahan yang tidak sah, baik terhadap status hubungan, hak-hak pasangan, nasab anak, maupun warisan, maka sangat dianjurkan untuk berkonsultasi dengan ahli agama dan pihak KUA sebelum melangsungkan pernikahan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya