Liputan6.com, Jakarta Sebuah kasus perdagangan manusia yang mengerikan terungkap di Georgia, di mana sekitar 100 wanita dijadikan budak di sebuah 'peternakan manusia' untuk diambil sel telurnya dan dijual di pasar gelap.
Para wanita ini diberi hormon secara paksa dan diperlakukan seperti ternak oleh sindikat kriminal yang diduga dipimpin oleh kelompok asal Tiongkok. Kasus ini menjadi pengingat akan bahaya eksploitasi dan perdagangan manusia yang masih marak terjadi.
Advertisement
Kasus ini terungkap setelah tiga wanita asal Thailand berhasil melarikan diri dan menceritakan kisah tragis mereka. Mereka mengungkapkan bahwa awalnya mereka tertarik oleh sebuah tawaran pekerjaan yang diiklankan melalui Facebook.
Advertisement
Perbudakan adalah kondisi di mana seseorang dipaksa bekerja atau melayani tanpa kebebasan, sering kali dengan ancaman kekerasan, hukuman, atau eksploitasi. Bentuk modern perbudakan mencakup perdagangan manusia, kerja paksa, perbudakan utang, serta eksploitasi seksual dan pekerja anak.
Kisah 100 wanita yang diperbudak untuk diambil sel telurnya ini dilansir Liputan6.com dari dailymail pada Selasa (11/2/2025).
Modus Penipuan dan Perbudakan
Kasus perbudakan tersebut terungkap setelah tiga wanita asal Thailand berhasil melarikan diri dan menceritakan kisah tragis mereka. Mereka mengungkapkan bahwa awalnya mereka tertarik oleh sebuah tawaran pekerjaan yang diiklankan melalui Facebook.
Iklan tersebut menjanjikan penghasilan antara 11.500 hingga 17.000 euro (sekitar Rp 192 juta hingga Rp 284 juta) untuk menjadi ibu pengganti bagi pasangan di Georgia yang tidak bisa memiliki anak.
Pada Agustus 2024, ketiga wanita ini bersama sepuluh wanita Thailand lainnya berangkat ke Georgia dengan biaya perjalanan serta paspor yang ditanggung oleh sindikat tersebut. Namun, sesampainya di sana, mereka baru menyadari bahwa tawaran pekerjaan itu hanyalah kedok belaka.
Advertisement
Eksploitasi dan Kekejaman di 'Peternakan Manusia'
Para korban dipaksa tinggal di empat properti besar bersama sekitar 100 wanita lainnya. Mereka diberikan hormon untuk merangsang produksi sel telur dan dipaksa menjalani prosedur pengambilan sel telur setiap bulan. Beberapa wanita bahkan tidak menerima bayaran atas sel telur mereka.
Lebih buruknya lagi, jika ada yang ingin keluar dari tempat tersebut, mereka diwajibkan membayar uang tebusan sebesar 2.000 euro (sekitar Rp 33 juta). Kondisi ini membuat banyak korban terjebak tanpa jalan keluar.
Penyelamatan dan Investigasi
Salah satu mantan korban berhasil membeli kebebasannya dan melaporkan kejadian ini kepada Pavena Hongsakula, pendiri sebuah yayasan di Thailand yang berfokus pada perlindungan perempuan dan anak-anak. Pavena kemudian bekerja sama dengan Interpol untuk menyelamatkan tiga wanita Thailand pada 30 Januari 2025 setelah membayar uang tebusan mereka.
Hingga kini, belum diketahui berapa banyak wanita yang masih ditahan di 'peternakan manusia' tersebut. Pihak berwenang Thailand dan Interpol telah meluncurkan penyelidikan lebih lanjut untuk mengungkap jaringan kejahatan ini dan menyelamatkan para korban lainnya.
Kasus ini menyoroti bentuk baru perdagangan manusia, di mana perempuan dijadikan komoditas dalam industri IVF ilegal. Investigasi lebih lanjut diharapkan dapat membongkar sindikat yang bertanggung jawab dan memberikan keadilan bagi para korban.
Advertisement
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)