Liputan6.com, Mariupol - Ketika Rusia mulai menggempur kota Mariupol di tenggara Ukraina, puluhan orang berlindung ke sebuah masjid yang megah. Jarak serangan hanya beberapa ratus meter dari masjid.
Nama masjid itu adalah Masjid Sultan Suleiman (Маріупольська мечеть). Masjid ini merupakan bentuk penghormatan kepada dua tokoh di Kekaisaran Utsmani: Sulaiman yang Agung dan Roxelana (Hurrem Sultan).
Advertisement
Baca Juga
Menurut situs resmi kota Mariupol, Kamis (31/3/2022), masjid ini memang terinspirasi oleh Masjid Suleymaniye yang berada di Istanbul, Turki.
Dana pembangunan masjid ini berasal dari pebisnis Turki, yakni Salih Cihani, serta dengan bantuan dewan kota Mariupol. Lokasi masjid ini ada di Primorsky Park dan menjadi destinasi turis yang populer.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Ukraina Minta Seluruh Pasukan Rusia Tinggalkan Negaranya
Rusia pada hari Selasa (29/3) mengatakan akan mengurangi secara tajam aktivitas militer di sekitar ibu kota Ukraina, Kiev, dan Chernihiv di Ukraina utara. Pernyataan itu menjadi tanda kemajuan yang nyata menuju kesepakatan damai.
Wakil Menteri Pertahanan Rusia Alexander Fomin menyampaikan hal itu usai menghadiri perundingan dengan delegasi Ukraina di Istanbul.
"Untuk meningkatkan rasa saling percaya dan menciptakan kondisi yang diperlukan untuk negosiasi lebih lanjut dan mencapai tujuan akhir berupa kesepakatan dan penandatanganan persetujuan, dibuat keputusan untuk secara radikal, dalam jumlah besar, mengurangi aktivitas militer yang mengarah ke Kiev dan Chernihiv," kata Formin kepada wartawan, demikian seperti dikutip dari laman VOA Indonesia, Rabu (30/4).
Di sisi lain, kepala delegasi Ukraina menuntut perdamaian penuh di seantero Ukraina agar kesepakatan akhir dengan Rusia bisa mulai diterapkan.
David Arakhamia menyampaikannya pernyataan itu di Istanbul, usai menghadiri perundingan dengan pihak Rusia, semenjak pertemuan sebelumnya 10 Maret lalu.
Ia mengatakan "semua pasukan" harus mundur dari Ukraina dan mengizinkan tiga setengah juta pengungsi yang melarikan diri dari perang untuk pulang ke rumah mereka masing-masing.
“Posisi Ukraina tidak berubah. Kami mengakui perbatasan internasional Ukraina tahun 1991. Tak ada kompromi atau garis merah di sini,” kata Arakhamia.
Advertisement