Liputan6.com, Purbalingga - Pada era modern, bekerja untuk memperoleh penghasilan tak lagi semata menjadi urusan pria. Banyak wanita bekerja dan cemerlang dalam kariernya.
Dalam tingkat lebih sederhana dan starata kalangan mengenah bawah, kerap terjadi, istri bekerja sedangkan suami menganggur. Contohnya, istri jadi pekerja migran alias TKW, suami menunggu di rumah. Lantaran menganggur, maka mau tidak mau, dia akan mengurus sektor domestik rumah tangga.
Fenomena istri bekerja suami menganggur ini pernah mencuat di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Fenomena ini lantas populer disebut dengan istilah 'Papa momong, mama kerja'.
Advertisement
Baca Juga
Dari istilah itu saja sudah tergambar dengan jelas, bahwa si suami bertugas mengurus rumah tangga, termasuk mengasuh anaknya. Sementara, sang istri bekerja di luar rumah demi menafkahi keluarga.
Perlu diketahui, di Purbalingga, terdapat ratusan pabrik yang mempekerjakan ratusan ribu buruh. Sebagian besar memang dengan spesifikasi yang cenderung membutuhkan tenaga kerja perempuan.
Di antaranya, pabrik bulu mata palsu, rambut palsu, tekstil dan beberapa industri lain. Akibatnya, serapan tenaga kerja lebih banyak perempuan.
Sebenarnya fenomena papa momong mama kerja ini adalah anomali. Lazimnya, suami lebih dominan mencari nafkah untuk keluarga dibanding istrinya.
Namun, kondisi terbalik ini sangat mungkin terjadi. Dalam kasus lain, misalnya, suami di-PHK pada masa pandemi Covid-19 dan kemudian menganggur. Sementara, istri bekerja.
Lantas, apa hukum istri bekerja untuk menafkahi keluarga dan suami menganggur?
Saksikan Video Pilihan Ini:
Penjelasan MUI
Ada beberapa pertanyaan ketika istri bekerja dan suami menganggur. Pertama, apakah suami tetap berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya yang bekerja. Kedua, bagaimana hukum suami yang tak memberi nafkah kepada istrinya karena menganggur.
MUI menjelaskan, sejumlah hal terkait istri bekerja yang penghasilannya mungkin lebih besar atau bahkan untuk menghidupi keluarga dan suaminya. Mengutip mui.or.id:
1. Pendapat pertama: Tidak wajib memberikan nafkah kepada istri yang keluar bekerja meskipun dengan izin suaminya, sebagaimana pendapat Hanabilah dan sebagian Syafiiyah.
2. Pendapat kedua: Istri tetap berhak mendapatkan nafkah ketika bekerja di luar atas izin suaminya, pendapat ini menurut Malikiyyah serta sebagian dari Hanafiyah dan Syafiiyah, dan merupakan pendapat dari Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa kewajiban suami untuk memberikan nafkah berdasarkan akad meskipun ada pelanggaran yang dilakukan (nusyuz).
3. Pendapat Ketiga: Seorang suami wajib menanggung sebagian dari nafkah kepada istrinya jika istrinya bekerja pada sebagian hari dan kembali kepada suaminya pada sebagian yang lain. Pendapat ini dari sebagian Hanafiyah, Syafiiyah dan Malikiyah.
Dari beberapa pandangan di atas maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sesungguhnya kewajiban suami adalah mencari nafkah dan menafkahi istri dan keluarganya, dan kewajiban istri adalah mengatur rumah tangganya dengan baik.
Namun jika sang istri memperoleh penghasilan dengan aktivitasnya di luar rumah, apabila sang istri tetap menjalankan kewajibannya sebagai Ibu rumah tangga, maka suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya, sekalipun istri memiliki penghasilan sendiri.
Namun apabila tugas rumah tangga berpindah kepada suami karena tidak memiliki pekerjaan, maka suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istrinya dengan kompensasinya adalah memberikan izin kepada istrinya untuk bekerja di luar.
Untuk itu, hendaknya seorang suami dan istri memusyawarahkan dengan solusi terbaik, misalnya menggabungkan penghasilan suami dan istri lalu kemudian dipergunakan untuk membiayai kebutuhan rumah tangga. Wallahu A’lam.
Tim Rembulan
Advertisement