Bencana Disebut karena Tidak Terapkan Khilafah, Ini Jawaban Menohok Dai Indonesia

Menanggapi bencana sebagai azab gara-gara tidak menerapkan sistem tertentu (khilafah). Sungguh sangat tidak berempati terhadap korban.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Des 2022, 13:42 WIB
Diterbitkan 04 Des 2022, 00:30 WIB
Relawan Pertamina
Sejumlah relawan Pertamina menggelar kegiatan pendampingan sosial (trauma healing) bagi para pengungsi korban gempa di posko utama Pertamina Peduli yang berlokasi di RT02/RW02 Kampung Panembong Kaler, Desa Mekarsari, Cianjur, Jawa Barat, Kamis, 1 Desember 2022.

Liputan6.com, Cianjur - Bencana alam bertubi-tubi melanda Indonesia. Banjir, longsor, terjangan puting beliung, hingga yang terbaru gempa bumi terjadi di berbagai daerah Indonesia.

Terbaru adalah musibah gempa Cianjur yang menyebabkan ratusan orang meningga, ribuan terluka, dan puluhan ribu lainnya terpaksa mengungsi. Nyawa hingga harta benda hilang dalam musibah ini.

Belakangan, ada sebagian kecil kelompok yang menyebut bencana yang terjadi adalah azab dari Allah SWT untuk pendosa. Lebih spesifik, ada pula kelompok radikal yang menyebut bencana disebabkan tidak menerapkan sistem khilafah.

Soal ini, Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDI) membantah pandangan kelompok radikal yang menyebut bahwa bencana alam yang terjadi di Tanah Air akibat pemerintah tidak menerapkan sistem khilafah.

"Ironisnya, musibah atau bencana terutama di Indonesia justru 'dimainkan' kelompok radikal dengan mengklaim bencana itu akibat tidak diterapkannya sistem khilafah," kata Ketua Umum ADDI Dr. Moch Syarif Hidayatullah melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu, dikutip Antara.

Ketua Umum ADDI mengatakan keputusan musibah atau azab apakah berhubungan dengan persepsi dan perspektif masih belum final karena kondisi sekarang dengan zaman para nabi berbeda. Dulu, nabi mendapat jawaban langsung dari Allah SWT apakah musibah atau azab.

Ia menjelaskan dalam konteks itu perlu dipahami kalau bencana alam dalam kitab suci termasuk Al-Qur'an dijelaskan sebagai azab. Hal tersebut suatu pelanggaran yang konkrit dan dijelaskan oleh Allah SWT melalui para nabi. Pada saat itu, ada nabi yang memang mendapat wahyu dan bisa menjelaskannya.

Sementara sekarang tidak ada nabi sehingga klaim yang disampaikan kelompok yang mempolitisasi dengan menyebut bencana karena tidak menerapkan khilafah adalah asumsi dan mengarah pada pencocokan serta tidak berdasar.

"Persepsi seperti itu sama saja dengan ngawur. Apalagi negara islam di seluruh dunia tidak ada yang menggunakan sistem khilafah," ujarnya, dikutip Antara.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Penyebutan Azat Tak Berempati

potret santri yang masih bertahan pascagempa Cianjur
Seorang santri menyelamatkan Al-Qur'an dari puing banguan yang hancur akibat gempa di Pesantren Al Burok, Kampung Cisarua, Desa Sarampad, Cianjur, Jawa Barat, Rabu (21/11/2022). Gempa bumi dengan magnitude 5,6 di Cianjur Jawa Barat yang berpusat di darat 10 km barat daya embuat sejumlah rumah dan bangunan rusak. (merdeka.com/Arie Basuki)

 

Ia menegaskan bahwa terlalu naif kelompok radikal mengklaim bencana alam karena Indonesia tidak menerapkan sistem khilafah karena faktanya memang tidak demikian.

"Kita tidak boleh menanggapi bencana sebagai azab gara-gara tidak menerapkan sistem tertentu. Sungguh itu sangat tidak berempati terhadap korban," ujarnya.

Syarif menegaskan tidak ada jaminan jika menerapkan khilafah maka tidak akan ada musibah sebab musibah merupakan bagian dari sunataullah. Hal itu juga sebagai pengingat kepada manusia, baik tentang dosa ataupun kesalahan manusia seperti eksploitasi lahan yang berlebihan.

Apalagi gempa bumi yang susah diprediksi dan merupakan faktor alam. Selain itu, Indonesia juga berada di kawasan rawan gempa akibat lempengan-lempengan bumi yang sering bergeser.

Menurut Wakil Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, ulama di dunia mengatakan bahwa pemerintahan yang menggantikan pemerintahan nabi tidak harus dalam bentuk khilafah, seperti versi Hizbut Tahrir dan Khilafatul Muslimin.

Bahkan, lembaga fatwa resmi Mesir, yakni Dar Al-Ifta memfatwakan segala bentuk pemerintahan baik itu monarki, republik ataupun bentuk lain, selama masyarakat bisa menjalankan syariat islam, menjamin orang mudah mencari penghidupan maka hal itu sudah mencerminkan kekhilafahan yang menggantikan kepemimpinan nabi.

"Khilafah itu sebenarnya bermakna sistem penggantian pemerintahan atau kepemimpinan nabi dalam mengurus agama dan dunia," ujarnya.

Namun, modelnya bisa macam-macam bukan tunggal. Hal itu ditunjukkan bagaimana Khulafaur Rasyidin bergantian dan sistemnya tidak baku. Kedua, ketika berganti menjadi daulah-daulah seperti Abbasyiah, Ustmaniyah itu berbasis keluarga jatuhnya monarki.

"Ini hal-hal yang perlu dipahami bersama bahwa ini ijtihad. Kalau betul khilafah itu baku, sistemnya harus tunggal," jelasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya