Liputan6.com, Jakarta - Duduk perkara sholat lailatul qadar kerap menjadi bahan perdebatan di bulan Ramadhan, antara bid’ah atau sunnah. Berbagai argumentasi mengenai hukum melaksanakan sholat lailatul qadar pun bermunculan.
Ada yang mengatakan sholat lailatul qadar adalah bid’ah dan harus ditinggalkan, karena tidak ditemukan dalam hadis dan Rasulullah SAW pun tidak pernah melakukan sholat ini. Namun, sebagian lain berpendapat sholat ini sunnah dan sangat dianjurkan untuk dikerjakan.
Lantas, bagaimana hukum sholat lailatul qadar ini?
Advertisement
Baca Juga
Sebagaimana kita tahu bahwa pada lailatul qadar umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah. Sebab, di balik Lailatul Qadar terdapat keutamaan yang luar biasa. Selain menjadi malam yang lebih baik dari seribu bulan, orang yang beribadah pada malam tersebut akan diampuni dosa-dosanya.
Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang disampaikan Imam Nawawi dalam pembahasan awal bab keutamaan beribadah pada lailatul qadar dalam kitab Riyadhus Shalihin.
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: “Barang siapa beribadah pada lailatul qadar, karena iman dan mengharapkan pahala, maka dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Namun, hadits di atas masih terlalu umum untuk menghukumi sunnah melakukan sholat lailatul qadar. Tentu membutuhkan beberapa dalil yang lebih pas untuk menghukumi sunnah melakukan sholat lailatul qadar pada malam yang diharapkan bertepatan dengan malam istimewa tersebut.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Dalil-Dalil
Mengutip situs Keislaman NU, Syekh Ismail Haqqi bin Musthafa al-Khalwati dalam kitab Khazinatul Asrar menyebutkan tentang cara sholat lailatul qadar. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ صَلَّى فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ رَكْعَتَيْنِ يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ مَرَّةً وَالْاِخْلَاصِ سَبْعَ مَرَّاتٍ فَاِذَا سَلَّمَ يَقُوْلُ أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ اِلَيْهِ سَبْعِيْنَ مَرَّةً فَلاَ يَقُوْمُ مِنْ مَقَامِهِ حَتَّى يَغْفِرُ اللهُ لَهَ وَلِأَبَوَيْهِ وَيَبْعَثُ اللهُ تَعَالَى مَلاَئِكَةً اِلَى الْجِنَانِ يَغْرِسُوْنَ لَهُ الْأَشْجَارَ وَيَبْنُوْنَ الْقُصُوْرَ وَيَجْرُوْنَ الْأَنْهَارَ وَلَا يَخْرُجُ مِنَ الدُّنْيَا حَتَّى يَرَى ذَلِكَ كُلَّهُ
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma, dari nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Rasulullah bersabda: Barang siapa melakukan sholat dua rakaat ketika lailatul qadar, dalam setiap rakaat membaca surat Al-Fatihah 1 kali, dan surat Al-Ikhlas 7 kali, setelah salam membaca istighfar 70 kali, maka ia tidak berdiri dari tempatnya sampai Allah mengampuni dosa-dosanya, dan dosa kedua orang tuanya. Allah subhanahu wata’ala akan mengutus malaikat untuk ke surga, menanam pohon untuknya dalam surga, membangunkan istana, dan mengalirkan sungai (dalam surga untuknya). Dan ia tidak akan mati sampai bisa melihat semua itu.” (Syekh Ismail Haqqi, Khazinatul Asrar Jalilatul Adzkar, h. 45).
Secara umum, hadits di atas sudah menyebutkan tata cara mengerjakan shalat sunnah ketika lailatul qadar. Hanya saja, tidak menyebutkan secara khusus niat shalat pada malam tersebut, antara niat sholat lailatul qadar dan niat sholat sunnah yang lain. Sehingga bisa diarahkan pada dua sholat sunnah, yaitu sunnah mutlak dan sunnah hajat.
Dalam keterangan yang lain, Syekh Ismail Haqqi menjelaskan lebih khusus terkait cara niat shalat lailatul qadar. Beliau mengatakan:
وكان عليه السلام اذا دخل العشر شد مئزره وأحيى ليله وأيقظ أهله. وكان الصالحون يصلون فى ليلة من العشر ركعتين بنية قيام ليلة القدر
Artinya: “Ketika Rasulullah memasuki sepuluh hari (akhir dari bulan Ramadhan), beliau ikat erat sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya. Orang-orang saleh melakukan shalat dua rakaat pada malam tersebut, dengan niat menghidupkan lailatul qadar.”
Syekh Ismail Haqqi melanjutkan dengan mengutip pendapat Imam Abul Laits dan mempertegas bahwa niat shalat pada malam tersebut adalah shalat lailatul qadar.
قال الامام أبو الليث رحمه الله اقل صلاة ليلة القدر ركعتان واكثرها ألف ركعة واوسطها مائة ركعة واوسط القرآءة فى كل ركعة أن يقرأ بعد الفاتحة انا انزلناه مرة وقل هو الله احد ثلاث مرات ويسلم على كل ركعتين ويصلى على النبى عليه السلم بعد التسليم ويقوم حتى يتم ما اراد من مائة او اقل او اكثر
Artinya: “Berkata Imam Abul Laits rahimahullah, paling sedikitnya jumlah lailatul qadar adalah 2 rakaat, paling banyaknya 1000 rakaat, dan yang sedang-sedang 100 rakaat. Paling ringannya bacaan setelah membaca surat Al-Fatihah pada setiap rakaat, yaitu membaca surat Al-Qadr 1 kali, surat Al-Ikhlas 3 kali, dan melakukan salam setiap selesai dua rakaat. Membaca shalawat pada Nabi Muhammad setelah salam, kemudian berdiri sampai ia menyempurnakan rakaat yang dikehendaki; bisa seratus, atau lebih sedikit dan lebih banyak.” (Syekh Ismail Haqqi, Tafsir Ruhil Bayan, juz 10, h. 372)
Advertisement
Dalil-Dalil
Syekh Ismail Haqqi juga menegaskan dengan mengutip penjelasan dalam kitab al-Muhith, yaitu tidak dimakruhkan mengerjakan shalat sunnah lailatul qadar secara berjamaah. Beliau mengatakan:
وفي المحيط لا يكره الاقتداء بالامام في النوافل مطلقاً نحو القدر والرغائب وليلة النصف من شعبان ونحو ذلك لأن ما رأه المؤمنون حسناً فهو عند الله حسن فلا تلتفت إلى قول من لا مذاق لهم من الطاعنين فإنهم بمنزلة العنين لا يعرفون ذوق المناجاة وحلاوة الطاعات وفضيلة الأوقات
Artinya: “Dalam kitab al-Muhit, tidak dimakruhkan bermakmum pada imam dalam shalat sunnah mutlak. Seperti shalat sunnah lailatul qadar, raghaib, malam pertengahan dari bulan Sya’ban, dan sesamanya. Karena, apa yang dinilai baik oleh orang mukmin, maka di sisi Allah juga bernilai baik. Oleh sebab itu, jangan mengikuti pendapat orang-orang yang tidak memiliki sifat senang terhadap ibadah, karena mereka seperti orang impoten yang tidak mengetahui kenyamanan bermunajat kepada Allah swt, serta tidak bisa merasakan manisnya taat dan keutamaan waktu.” (Syekh Ismail Haqqi, Tafsir Ruhil Bayan, juz 10, h. 372).
Penjelasan Syekh Ismail yang terakhir perlu dibahas ulang. Pada penjelasan di atas, secara tersurat Syekh Ismail berpendapat bahwa sholat sunnah lailatul qadar kedudukannya sama dengan shalat raghaib, malam pertengahan dari bulan Sya’ban, dan sesamanya.
Sedangkan para fuqaha menganggap bahwa sholat tersebut merupakan amalan bid’ah yang harus ditinggalkan, dan hadits yang dijadikan pijakan merupakan hadits batil yang sama sekali tidak pernah disampaikan oleh Rasulullah.
Seperti Syekh Zainuddin al-Malibari, secara tegas beliau mengatakan demikian. Dalam kitab Irsyadul Ibad dijelaskan:
ومن البدع المذمومة التي يأثم فاعلها، ويجب على ولاة الأمر منع فاعلها صلاة الرغائب اثنتا عشرة ركعة بين العشاءين ليلة أول جمعة من رجب. وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة، وصلاة آخر جمعة رمضان سبع عشرة ركعة بنية قضاء الصلوات الخمس الذي لم يتيقنه، وصلاة يوم عاشوراء أربع ركعات أو أكثر. أما أحاديثها فموضوعة باطلة، ولا تغترّ بمن ذكرها.
Artinya: “Termasuk perbuatan bid’ah tercela, dan pelakunya mendapatkan dosa, bahkan wajib bagi pemerintah untuk melarangnya, yaitu: sholat raghaib, yaitu shalat sunnah 2 rakaat antara waktu shalat isya’ dan maghrib pada malam Jumat pertama dari bulan Rajab, shalat malam 100 rakaat pada pertengahan bulan Sya’ban, sholat pada Jumat akhir bulan Ramadhan, dengan niat mengganti shalat 5 waktu yang pernah ditinggalkan, dan shalat 4 rakaat atau lebih banyak pada hari Asyura. Sedangkan hadits-hadits yang menjelaskan tentang sholat tersebut merupakan hadits palsu (maudu’), dan jangan tertipu pada orang-orang yang menganjurkannya.” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Irsyadul Ibad ila Sabilir Rasyad, h. 68).
Sholat Sunnah Mutlak
Dalam kaidah fiqih dinyatakan, “pokok dalam setiap ibadah, jika tidak dianjurkan, maka ibadahnya tidak sah”. Dengan kaidah ini para fuqaha sepakat bahwa setiap ibadah yang landasan dalilnya tidak bisa dinyatakan valid maka ibadahnya tidak sah, dan haram hukumnya.
Lantas bagaimana cara agar sholat lailatul qadar menjadi sah dan tidak haram?
Syekh Abdul Hamid al-Qudsi memberikan cara agar lebih berhati-hati dalam melakukan ibadah, sehingga tidak terjerumus pada ibadah yang batil. Dan cara ini tidak menghilangkan terhadap keutamaan sebagaimana shalat dengan menggunakan niat di atas.
Dalam kitab Kanzun Najah was Surur dijelaskan,
فمن أراد الصلاة في وقت من هذه الأوقات، فلينو النفل المطلق فرادى من غير عدد معين، وهو ما لا يتقيد بوقت ولا سبب ولا حصر له، وبالله التوفيق.
Artinya: “Barang siapa yang hendak melakukan shalat pada waktu-waktu tersebut, maka hendaklah niat melakukan shalat sunnah mutlak secara sendiri (tidak berjamaah), tanpa ada ketentuan jumlah (rakaat) tertentu. Dengan kata lain, shalat sunnah mutlak tidak dibatasi dengan waktu, sebab, dan batasan rakaat shalat.” (Syekh Abdul Hamid al-Qudsi, Kanzun Najah was Surur, h. 90).
Penjelasan tersebut menjadi jalan tengah demi menghindari pendapat para ulama fiqih yang mengatakan bahwa sholat-sholat sebagaimana yang telah disebutkan merupakan amaliah bid’ah madzmumah. Juga tidak menutup mata dan meninggalkan pendapat ulama yang menganjurkannya secara keseluruhan. Pendapat kedua ulama sama-sama diikuti tanpa mengesampingkan salah satu dari keduanya. (Sumber: Islam.nu.or.id)
Wallahu’alam.
Advertisement